Oleh: Muhammad Asrori Ardiansyah
(Mahasiswa Program Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam UIN Malang)
Ada sesuatu yang terasa ganjil di lingkungan masyarakat pendidikan. Pola-pola pendidikan yang monologis, banyaknya guru yang tidak mengikuti perkembangan wawasan keilmuan, serta tidak adanya kehendak untuk memberikan ruang bagi ekspresi pemikiran yang liar sekalipun, merupakan dampak dari suatu pemisahan kegiatan belajar mengajar di kelas dengan kehidupan sehari-hari. Padahal kehadiran sekolah dan perguruan tinggi yang bercikal bakal di Yunani dahulu kala dimaksudkan untuk mengembangkan kebebasan berpikir, diskusi-diskusi dan simposium-simposium. Bila kita cermati benar-benar, pola pendidikan yang berlaku saat ini di Indonesia hanyalah berorientasi pada berapa jumlah mahasiswa yang telah dihasilkan oleh suatu institusi pendidikan. Tidak ada pengembangan ilmu, dan karenanya tak heran jika peringkat lembaga pendidikan menengah dan tinggi di Indonesia secara keseluruhan saat ini berada pada titik yang paling memalukan.
A. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam
Prof. Mohammad Athiyah abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan 5 tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “At Tarbiyah Al Islamiyah Wa Falsafatuha” yaitu :
- Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
- Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja, tetapi dia menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus.
- Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan minat pada sains, sastra, kesenian, dalam berbagai jenisnya.
- Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat mengusai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi kerohanian dan keagamaan.
- Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Tidak lah tercapai kesempurnaan manusia tanpa memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan.
B. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam
Sebagai suatu metode, pengembangan filsafat pendidikan Islam biasanya memerlukan empat hal sebagai berikut :
Pertama, bahan-bahan yang akan digunakan dalam pengembangan filsafat pendidikan. Dalam hal ini dapat berupa bahan tertulis, yaitu al Qur’an dan al Hadist yang disertai pendapat para ulama serta para filosof dan lainnya ; dan bahan yang akan di ambil dari pengalaman empirik dalam praktek kependidikan.
Kedua, metode pencarian bahan. Untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang masing-masing prosedurnya telah diatur sedemikian rupa. Namun demikian, khusus dalam menggunakan al Qur’an dan al Hadist dapat digunakan jasa Ensiklopedi al Qur’an semacam Mu’jam al Mufahras li Alfazh al Qur’an al Karim karangan Muhammad Fuad Abd Baqi dan Mu’jam al muhfars li Alfazh al Hadist karangan Weinsink.
Ketiga, metode pembahasan. Untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif metode analsis-sintesis, yaitu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif, dedukatif, dan analisa ilmiah.
Keempat, pendekatan. Dalam hubungannya dengan pembahasan tersebut di atas harus pula dijelaskan pendekatan yang akan digunakan untuk membahas tersebut. Pendekatan ini biasanya diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori-teori keilmuan tertentu yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan ini pendekatan lebih merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia semacam paradigma (cara pandang) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.
C. Mempertemukan Aliran-Aliran Filsafat
Dalam kerangka teoritis apakah sebenarnya yang menjadi landasan akan arti penting teoritis sejauh mana mempunyai kegunaan praktis. Eksistenisialisme memberikan gambaran bahwa tujuan pendidikan bukan agar anak didik dibantu mempelajari bagaimana menanggulangi masalah-masalah eksistensial mereka. Para pendidik eksistensialis akan mengukur hasil pendidikan bukan semata-mata pada apa yang telah dipelajari dan diketahui oleh peserta didik, akan tetapi yang lebih penting adalah apa yang mampu menreka ketahui dan alami. Para pendidik eksistensialisme menolak pendidikan dengan sistem indoktrinisasi.
Setelah pengarahan eksistensialisme tersebut, sejauhmana pemikiran mereka juga mempunyai landasan pragmatis. Pragmatisme memandang realita sebagai suatu proses dalam waktu, yang berarti orang yang mengetahui mempunyai peranan untuk menciptakan atau mengembangkan hal-hal yang diketahui. Ini berarti bahwa tindakan yang dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan tersebut dapat menjadi unsure penentu mengembangkan pengetahuan itu pula. Pragmatisme meletakkan pemakaian mengenai sesuatu diatas pengetahuan itu sendiri, maka dari itu utilitas beserta kemampuan perwujudan nyata adalah hal-hal yang mempunyai kedudukan utama di sekitar pengetahuan mengenai sesuatu.[1] According to the pragmatic theory of truth, a proposition is true in so far as it works or satisfies, working or satisfying being described variously by different exponent on the view.[2] Nilai kegunaan praktis ini merupakan asal dari pemikiran sintesis antara idealisme dengan realisme yang saling melengkapi.
Dalam kegunaan pragmatis, fenomena yang terjadi bukan berarti hanya standardisasi pragmatis. Konsep dalam perguruan tinggi yang masa dulu sebagai konsep link and match, di dalamnya berakar dari pragmatisme yang parsial. Sebagaimana yang dikritik oleh rekonstruksionisme merupakan reformasi sosial yang menghendaki renaissance sivilisasi modern. Para pendidik rekonstruksionisme melihat pendidikan dan reformasi sosial itu sesungguhnya sama. Dan kurikulum dijadikan sebagai problem centered yang merupakan pembentukan ordo sosial baru.
Guna membangun kerasnya peradaban yang baru, progresivisme memberikan warna bahwasanya pendidikan bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan, melainkan kemampuan dan keterampilan berfikir dengan memberikan rangsangan yang tepat. John Dewey (tokoh pragmatisme), yang termasuk dalam golongan progresivisme menyatakan sekolah adalah institusi sosial dan pendidikan sendiri adalah suatu proses sosial. Selanjutnya, pendidikan adalah proses kehidupan (process of living), bukan sebagai persiapan masa depan. Pendidikan adalah proses kehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak didik harus diutamakan, bukan subject matter.
Penciptaan narasi tersebut dapat dilihat dalam tiga persoalan. Pertama, penggunaan filsafat pendidikan analitik, secara definitif Rapar menggambarkan filsafat pendidikan analitik menganalisis serta menguraikan istilah-istilah dan konsep-konsep pendidikan seperti pengajaran (teaching), kemampuan (ability), pendidikan dan sebagainya. Alat-alat yang digunakan adalah logika dan linguistik. Kedua, pendidikan seharusnya bersifat dialogis, bukan semata-mata transfer ilmu.
Ketiga, pendidikan sebagai teori kritik, mazhab Franfurt memberikan titik perluasan bahwasanya teori kritik bercirikan kritik terhadap masyarakat, bersifat historis yang berakar kepada tata pemikiran dan situasi tertentu, memiliki kekuatan untuk mengkritik fenomena yang dihadapi sekaligus melakukan kritik terhadap dirinya sendiri dan tidak memisahkan antara teori dan praktik, tindakan dan pengetahuan serta selalu melayani transformasi praktik sosial.
D. Positivisme
Dalam bidang ilmu sosiologi, antropologi, dan bidang ilmu sosial lainnya, istilah positivisme sangat berkaitan erat dengan istilah naturalisme dan dapat dirunut asalnya ke pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19. Comte berpendapat, positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Penganut paham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.[3]
Positivisme Logis (disebut juga sebagai empirisme logis, empirisme rasional, dan juga neo-positivisme) adalah sebuah filsafat yang berasal dari Lingkaran Wina pada tahun 1920-an. Positivisme Logis berpendapat bahwa filsafat harus mengikuti rigoritas yang sama dengan sains. Filsafat harus dapat memberikan kriteria yang ketat untuk menetapkan apakah sebuah pernyataan adalah benar, salah atau tidak memiliki arti sama sekali. Tokoh-tokoh yang menganut paham positivisme logis ini antara lain Moritz Schlick, Rudolf Carnap, Otto Neurath, dan A.J. Ayer. Karl Popper, meski awalnya tergabung dalam kelompok Lingkaran Wina, adalah salah satu kritikus utama terhadap pendekatan neo-positivis ini.[4]
Karl Popper, salah satu kritikus Positivisme Logis yang terkenal, menulis buku berjudul Logik der Forschung (Logika Penemuan Ilmiah) pada tahun 1934. Di buku ini dia menyajikan alternatif dari teori syarat pembuktian makna, yaitu dengan membuat pernyataan ilmiah dalam bentuk yang dapat dipersangkalkan (falsifiability). Pertama, topik yang dibahas Popper bukanlah tentang membedakan antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak, namun untuk membedakan antara pernyataan yang ilmiah dari pernyataan yang bersifat metafisik. Menurutnya, pernyataan metafisik tidaklah harus tidak bermakna apa-apa, dan sebuah pernyataan yang bersifat metafisik pada satu masa, karena pada saat tersebut belum ditemukan metode penyangkalannya, belum tentu akan selamanya bersifat metafisik. Sebagai contoh, psikoanalisis pada jaman itu tidak memiliki metode penyangkalannya, sehingga tidak dapat digolongkan sebagai ilmiah, namun jika suatu saat nanti berkembang menjadi sesuatu yang dapat dibuktikan melalui penyangkalan, maka akan dapat digolongkan sebagai ilmiah.[6]
Pro dan kontra positivisme
Positivis merupakan epistemologi yang menjelaskan dan memperkirakan apa yang terjadi pada dunia sosial dengan mencari stabilitas dan hubungan fundamental antara elemen-elemen di dalamnya. Positivis setuju bahwa perkembangan dari ilmu merupakan proses kumulatif dimana pemikiran-pemikiran baru ditambahkan ke koleksi ilmu yang sudah ada dan hipotesis yang salah dieliminasi.[7]
Anti-positivisme epistemologi menentang pemikiran atas kegunaan dari pencarian hukum atau aturan-aturan dasar dalam dunia sosial. Menurut kaum anti-positivis, dunia sosial bersifat relatif dan hanya dapat dipahami dari pandangan individu yang langsung terlibat dalam aktivitas yang diteliti. Dari pandangan ini, ilmu sosial dilihat sebagai hal subjektif daripada objektif.[8]
Positivisme, dengan tokoh besarnya August Comte, memang telah menghegemonikan prosedural penelitian ilmu alam kepada seluruh disiplin ilmu lainnya. Comte pernah mengatakan bahwa tidak ada ilmu yang sahih selain yang mengikuti cara-cara ilmu alam. Tapi kita juga mesti menyadari bahwa pada waktu itu memang ada semangat untuk menghormati fisika sebagai pengganti filsafat. Menurut Immanuel Walerstein, “begitu kerja empiris eksperimental menjadi lebih sentral dalam dunia ilmu, maka filsafat oleh para ilmuwan alam dipandang sebagai pengganti teologi belaka, yang sama-sama bersalah atas pernyataan-pernyataan kebenaran apriori yang tak dapat diuji.” Dan pada perkembangannya, filsafat yang bertumpu pada aliran idealisme dengan segala variannya.
Dan dengan berbagai faktor seperti betapa bergengsinya ber-fisika, maka seluruh ilmu-ilmu kemanusiaan pun lantas mengikuti jalan fisika sebagaimana yang diproklamirkan oleh Comte itu. Bahkan argumen fisika klasik yang menyatakan bahwa materi itu diam dan pasif – dan karena diam-nya itu maka materi dapat diukur –diadopsi bulat-bulat oleh ilmuwan sosial yang menganalogikan materi itu sebagai masyarakat. Semenjak itu pula, dalam semangat pengukuran, manusia mulai dianggap sekedar angka-angka. Intelejensia manusia pun mulai diukur dalam bentuk IQ. Bahkan sempat ada mitos bahwa IQ itu tetap dan tidak berubah, sebelum akhirnya digusur oleh EQ, SQ yang kemudian dirangkum oleh Agus Nggermanto dalam Quantum Quotient (QQ).
Positivisme yang menganggap kriterium kebenaran bergantung pada keterukuran dan bebas nilai pada hakikatnya telah membutakan para ilmuwan dalam melihat kebobrokan masyarakat serta kewajiban emansipatorisnya. Mereka tidak mampu melihat sebuah kesalahan atau kebenaran karena memakai kacamata yang bermerk ‘generalisasi bin reduksionis yang determinat’. Bagi mereka cukup untuk memungut beberapa sampel saja untuk kemudian mengklaim itu sebagai representasi dari keseluruhan. Tak heran jika pribadi-pribadi hilang. Masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang memiliki jiwa, nafsu, pemikiran dan kehendak bebas, diredusir menjadi kepingan-kepingan mesin yang kemudian disusun menurut teknik baku yang siap pakai.
E. Interpretive
Paradigma ini berguna untuk memahami dunia sebagaimana adanya, memahami fundamental alamiah dari dunia sosial pada level pengalaman yang bersifat subjektif. Pendekatan yang dilakukan oleh paradigma ini terhadap ilmu sosial bersifat nominalist, anti positivist, voluntarist, dan ideographic. Paradigma ini memandang dunia sosial sebagai proses soaisl yang berkembang, yang bersumber dari pemikian individual. Paradigma ini juga bersumber dari tradisi pemikiran sosial german idealist.
F. Kritisme
Aliran ini adalah penggabungan antara rasionalisme dan empirisme. Bahwa pengetahuan ini diperoleh melalui indera pikiran/akal.
Melalui metode-metode di atas, suatu pengetahuan dianggap benar apabila sesuatu dugaan atau hipotesa sesuai dengan data-data empiris setelah melalui pengujian. Cara sederhana dapat dikatakan bahwa suatu teori dikatakan benar jika : (1) konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan, (2) cocok dengan fakta-fakta empiris,sebab teori yang bagaimanapun konsistennya apabila tidak didukung oleh pengujian empiris, tidak diterima kebenarannya secara ilmiah. Dengan demikian,dapat dikatakan bahwa logika ilmiah merupakan gabungan antara logika deduktif dan logika induktif dimana rasionalisme dan empirisme hidup berdampingan. Dalam sebuah system mekanisme korektif.
Alur berfikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut :
1. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai obyek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasi faktor-faktor yang terkait di dalamnya.
2. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk konsentrasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmuah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
3. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
4. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran disini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum terapat fakta yang menyetakan sebaliknya.
Bagaimana pendidikan kritis?
Di atas telah diuraikan posisi pendidikan berkaitan dengan persoalan relasi sosialnya beserta kritik pemikiran kritis radikal terhadap kenetralan pendidikan aliran liberal/positivisme. Pertanyaan kemudian, apa sesungguhnya pendidikan kritis ini?
Pendidikan kritis pada dasarnya merupakan aliran, paham dalam pendidikan untuk pemberdayaan dan pembebasan. Pendidikan haruslah berbentuk suatu usaha yang mengarah pada cita-cita ideal/positif bagi umat manusia. Ia berfungsi sebagai usaha refleksi kritis, terhadap the dominant ideology ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, strata gender, kemiskinan, marginalisasi kaum bawah dan penyelewengan HAM, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil.
Lebih idealnya, Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada konsepsi dasar memanusiakan kembali manusia yang telah mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur sosial yang menindas (Pedagogi of the Opresed, New York 1986:67). Ia juga melakukan kritik terhadap kapitalisme dan mencita-citakan perubahan sosial dan struktural menuju masyarakat yang adil dan demo-kratis, suatu masyarakat tanpa eksploitasi dan penindasan.
Oleh karena itu, pendidikan dalam mainstream ini adalah media untuk resistensi dan aksi sosial yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian dari proses transformasi sosial. Perangkat pisau analisis yang dipakai dalam memahami kontradiksi sosial adalah perspektif kelas. Analisis kelas ini ini lebih memfokuskan pada relasi struktur sosial, ketimbang hanya memfokuskan pada korban eksploitasi. Dengan demikian, yang menjadi agenda utama pendidikan kritis adalah tidak sekadar menjawab kebutuhan praktis untuk mengubah kondisi golo-ngan miskin, terbelakang, namun juga (meminjam istilah Antonio Gramsci) adalah melakukan counter hegemoni dan counter wacana terhadap ideologi sosial yang telah mengakar dalam keyakinan.
Metode praksis
Metode praksis yang dipakai dalam persoalan ini bertitik tolak dari model pendidikan di luar kebanyakan sekolah formal yang kini banyak kita saksikan. Kalau pedagogi kita kenal sebagai manajemen mendidik anak, metode yang dipakai pendidikan kritis adalah andragogi yang dikenal sebagai mendidik orang dewasa.
Perbedaan keduanya sangat mencolok. Walaupun pedagogi bukan hanya seni mendidik anak dalam kategori usia, kebanyakan kita me-nyaksikan model ini dipakai oleh sistem sekolah kita. Pengertiannya adalah menempatkan murid sebagai anak-anak yang dianggap masih kosong dari ilmu pengetahuan. Ibarat botol kosong, ia perlu diisi dan setelah penuh, sang murid telah dianggap lulus/selesai.
Konsekuensi metode ini adalah menempatkan peserta didik secara pasif. Murid sepenuhnya menjadi objek dan guru menjadi subjek. Guru mengurui, murid digurui, guru memilihkan apa yang harus dipelajari, murid tunduk pada pilihan tersebut, guru mengevaluasi murid dievaluasi. Kegitan belajar ini me-nempatkan guru sebagai inti terpenting sementara murid menjadi bagian pinggiran (Seri Pendidikan Popular, 1999:24).
Berbalik dari itu, andragogi adalah pendidikan pendekatan orang ”dewasa” yang menempatkan murid sebagi subjek dari sistem pendidikan. Knowles (1970), menggambarkan murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memiliki bahan, menyimpulkan, mampu mengambil manfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, me-nganalisis dan meyimpulkan, serta mampu mengambil manfaat dari pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai ”fasilitator”, bukan menggurui. Oleh karena itu, relasi antara guru dan murid bersifat multicomunication dan seterusnya.
Itulah yang diharapkan dari Ivan Ilich saat pendidikan kemudian sebagai sarana bagi ajang kreativitas minat dan bakat peserta. Visi pendidikan yang demokratis, liberatif kemudian menjadi kebutuhan yang pokok ketika kita masih punya satu cita-cita tentang bagimana pentingnya membangun kehidupan yang humanis.
Biodata Singkat Penulis
Name : Muhammad Asrori Ardiansyah
Place/Date of Birth : Nganjuk, April 25th , 1980
Address : Paldapalang Jogomerto Tanjunganom Nganjuk East Java
Indonesia
Contact Person : 085649311583
E-Mail : m.asrori@telkom.net
Weblog : http://staim-nglawak.blogspot.com
Ethnic/Nationality : Javanese/Indonesian
Occupation : Student of the Graduate Program of the State Islamic University of Malang
Educational Background
1. Islamic Training College “Darussalam” Gontor Ponorogo
2. Miftahul ‘Ula Islamic College Nglawak Nganjuk
3. The State Islamic University Of Malang
[1]Barnadib,Imam,1988, Filsafat Pendidikan, Sistem Dan Metode, Andi Offset, Yogyakarta, 23.
[2]Bashori,Tauhid,2004, Pragmatisme Pendidikan, telaah Pemikiran John Dewey, http://www.geocities.com/ HotSprings/6774/j-13.html, diambil pada 9 Januari 2008.
[3]http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme, pada 9 Januari 2008.
[4]http://id.wikipedia.org/wiki/Positivisme_Logis, diambil pada 9 Januari 2008.
[5]Ibid.
[6]Ibid.
[7]Gibson Burrell and Gareth Morgan, Sociological Paradigms and Organisational Analysis. Elements of the Sociology Corporate Life,
[8]Ibid.