Gontor, 80 Tahun Kemudian

Gontor, 80 Tahun Kemudian

Oleh Damanhuri
Santri Pondok Modern Gontor Periode 1991-1995


Ketika kuku-kuku kolonialisme-imperialisme masih begitu kuatnya menunjukkan daya cengkeramnya atas bumi Nusantara dan antipati atas segala hal yang "berbau" Belanda pun belum lagi surut dari ranah kognitif umat Islam; nun jauh di sebuah pelosok desa yang berbatasan dengan reruntuhan pesantren Tegalsari-Ponorogo yang melahirkan pujangga terakhir Jawa, Ronggowarsito, berdirilah sebuah lembaga pendidikan Islam yang di kemudian hari dikenal sebagai Pondok Modern Gontor. Sebuah pesantren yang, untuk pertama kalinya, tidak saja memasukkan mata pelajaran "sekuler" dalam kurikulum pendidikannya, tapi juga mengadopsi metodologi pengajaran modern yang hampir sepenuhnya mereplika model pendidikan Belanda.
***

Eksperimen pembaruan pendidikan Islam yang delapan puluh tahun lalu (1926) digagas oleh tiga bersaudara Ahmad Sahal, Zainuddin Fannani dan Imam Zarkasyi tersebut jelas sebuah anomali dan langkah subversif pada zamannya. Sebab, saat mayoritas umat Islam masih bersikukuh dengan etos tradisionalisme dan segala derivatnya--seperti berpegang dengan dalil "Man tasyabbaha bi qaumin fa huwa minhu" ("Barangsiapa meniru gaya hidup suatu kelompok maka dia merupakan bagian darinya"), misalnya--founding fathers Gontor justru mengujicobakan model pendidikan Islam dengan meniru gaya pendidikan Belanda di mana musik, olahraga, dan kepanduan--sekadar menunjuk tiga hal yang kala itu masih dianggap "bid'ah" dalam dunia pendidikan Islam--merupakan aktivitas yang integral dalam rangkaian pendidikan Gontor.

Di titik ini, seperti pernah ditegaskan almarhum Nurcholish Madjid (Gatra, 12 Oktober 1996), barangkali tak terlalu berlebihan jika, bagi sebagian orang, "perkataan 'Gontor' hampir identik dengan ide tentang pendidikan Islam yang diselenggarakan dengan cara modern". Sebab, demikian kata Nurcholish, tentu saja suatu hal yang sangat memukau bahwa dalam tahun yang sama dengan kelahiran NU dan dua belas tahun setelah Muhammadiyah, para pendiri Gontor sudah "mampu menggagas sebuah sistem pendidikan pesantren yang berwawasan sangat maju dan bahkan sangat revolusioner untuk zamannya."

Kendati harus segera ditambahkan, bahwa jika dilacak akar historis yang membidani kelahirannya, sebagaimana kelahiran Muhammadiyah, Gontor pun pada dasarnya merupakan wujud lain unintended consequence (akibat tak diniatkan) dari proyek-gagal Politik Etis Belanda yang semula dimaksudkan untuk "mencetak" kaum terpelajar yang kooperatif bagi kepentingan penjajah tapi malah melahirkan lapisan terpelajar yang memelopori pelbagai gerakan perlawanan. Singkatnya, para pendiri Gontor merupakan lulusan sekolah Belanda (HIS) yang, tak seperti diagendakan, pada gilirannya justru mengkhianati ambisi tersembunyi dalam cetak-biru gerakan Politik Etis Belanda itu.

Tapi, di luar soal unintended consequence yang bahkan dengan sedikit berlebihan juga diakui oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Saya terbakar Amarah Sendirian (2006), dengan mengatakan bahwa kaum penjajah Belanda-lah yang berjasa melahirkan bangsa Indonesia, bagaimanapun hampir tak tersedia alasan untuk tak mengatakan Gontor sebagai lembaga pendidikan Islam yang mendahului zamannya. "Berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas," sebagai empat pilar yang dijadikan spirit dalam kehidupan Gontor, di samping diusungnya beragam ikon modernitas seperti disebutkan sebelumnya, misalnya, tentu saja bukan sebuah terobosan sederhana yang tak memiliki impak dengan jangkauannya yang begitu signifikan.

Ihwal "berpikiran bebas" yang juga kian diperkuat dengan beragam jargon lain seperti "Gontor berdiri di atas dan untuk semua golongan", misalnya, bisa dilihat dari (ideologi) politik pendidikan Gontor yang bersikap non-sektarian dan sepenuhnya menampik tendensi parokialisme (keagamaan). Kesetiaan buta kepada hanya salah satu mazhab fikih, sebab itu, bukan sekadar sesuatu yang tak dianjurkan; tapi malah dianggap sebagai ketidakdewasaan beragama. Ini setidaknya diwujudkan dengan dipilihnya kitab fikih Bidayat al-Mujtahid karya filsuf-cum-juris Ibnu Rusydi yang menampung produk hukum Islam (fikih) empat mazhab sebagai bahan buku ajarnya.

Tak sekadar dalam ruang lingkup (fikih) Islam, sikap-sikap inklusif-pluralis antaragama pun bahkan sudah mulai ditanamkan dengan dimasukkannya subjek perbandingan agama (muqaaranat al-adyaan) sebagai bahan ajar yang mulai dipelajari santri sejak tingkat SMU. Maka saya sering berandai-andai bahwa kalau saja V.S. Naipaul sempat mengunjungi Gontor saat mengumpulkan bahan risetnya tentang Islam di Indonesia untuk buku Beyond Belief: Excursions Among the Converted Peoples yang kontroversial itu, ia barangkali tidak akan dengan gegabah menyimpulkan pendidikan Islam di pesantren sebagai pendidikan yang "isolating, and beating down and stunning of the mind" (1998: 29).

Sampai noktah ini, saya berani berspekulasi bahwa disebabkan prinsip kebebasan dan keterbukaannya itu pula alumni Gontor tidak seragam dalam pemikiran (dan sikap) keagamaannya. Dengan sedikit melakukan simplifikasi, malah bisalah dikatakan bahwa disebabkan prinsip itu pula para lulusan Gontor menunjukkan tipologi (pemikiran) keagamaan yang membentang dari "yang paling kanan" hingga "yang paling kiri", dari "yang paling fundamentalis" hingga "yang paling liberal".

Nama-nama seperti Abu Bakar Ba'asyir, Amin Abdullah, Hidayat Nurwahid, Nurcholish Madjid, Panji Gumilang, Idham Kholid, Din Syamsuddin, Kautsar Azhari Noer, Kholil Ridwan,Hasyim Muzadi, Hamam Ja'far, atau bahkan A. Mustahal, penulis buku Dari Gontor ke Pulau Buru--sekedar menyebutkan beberapa nama secara acak--adalah beberapa "produk" Gontor dengan kecenderungan (pemikiran) keagamaannya yang berbeda-beda dan bahkan tak jarang "saling sanggah" satu dengan yang lainnya.

Begitulah, dalam usianya yang ke-80 Gontor telah melahirkan banyak alumninya yang dengan caranya sendiri-sendiri telah memberikan kontribusi begitu besar bagi bangsa Indonesia. Dengan aset finansial yang begitu besar dan ditopang manajemen sangat modern untuk ukuran dunia pesantren, kini Gontor bermetamorfosa dalam ratusan lembaga pendidikan Islam sejenis yang menjamur di seantero Nusantara. Meskipun tak boleh dialpakan juga bahwa "tak ada gading yang tak retak". Gontor pun.

Disiplin yang cenderung militeristis, hirarki kepemimpinan kiai yang masih menjalankan pola kepemimpinan karismatik (charismatic leadership) alih-alih rasional (rational leadership), absennya "hubungan spiritual" yang intens dan hangat antara kiai dengan santri, dan kecenderungan pendidikannya yang terkesan "elitis", misalnya, merupakan beberapa "sisi yang retak" itu dan mau tak mau musti dipertimbangkan ulang oleh para pengasuh dan pendidik Gontor masa kini.

Ihwal kecenderungan yang disebutkan terakhir, elitisme Gontor, gejala tersebut tidak saja dengan gamblang ditunjukkan dalam eksklusivisme (santri) Gontor dari masyarakat sekitar--akibat larangan keras berinteraksi dengan penduduk kampung sekitar--sehingga menjadikan Gontor tak ubahnya enclave yang secara struktural betul-betul terasing dari lingkungannya (Rahardjo, 1982: 20); tapi juga kentara dalam orientasi pendidikannya yang kian hari kian memosisikan diri sebagai menara gading yang seolah hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang berasal dari kalangan ekonomi kelas menengah atas alih-alih menjadi "sekolah rakyat" yang bisa diakses oleh seluruh lapis sosial masyarakat. Padahal, dengan aset finansialnya yang begitu melimpah, tak sulit bagi Gontor menggagas program beasiswa bagi anak-anak dari keluarga tak mampu yang tersumbat hak-hak pendidikannya.
***
Paragraf-paragraf di atas tentu saja sekadar kesan subjektif seorang santri yang pernah empat tahun mereguk pahit-manisnya pendidikan di lembaga pendidikan yang dengan eklektik memulung dan mencoba menggabungkan etos Universitas Al-Azhar (sebagai salah satu kubu intelektual Islam garda depan), Syanggit (yang menginspirasi pentingnya beasiswa bagi para santri), Santiniketan-nya Rabindranath Tagore (dengan pendekatan kebudayaannya), dan Aligarh (yang mengilhami pentingnya pemikiran modern dalam Islam), sebagai role model-nya itu.

Lembaga pendidikan Islam yang empat dekade lalu sudah disebut-sebut Indonesianis Australia, Lance Castles, sebagai "suatu perwujudan dari apa yang diharapkan dari reformisme Islam untuk masyarakat Indonesia" itu, sejak 10 April hingga 28 Mei nanti merayakan ulang tahunnya yang ke-80. Sebuah perjalanan cukup panjang dengan beragam lompatan yang sebagian besarnya cukup mencerahkan bagi kemajuan dunia pendidikan Islam di Indonesia yang secara umum kondisinya masih belum begitu menggembirakan.

Sumber: http://asrori-nganjuk.blospot.com

Artikel Terkait:

lintasberita

 
Bottom