TRIKOTOMI ABANGAN, SANTRI, DAN PRIYAYI MENURUT CLIFFORD GEERTZ
Oleh: MUHAMMAD ASRORI ARDIANSYAH
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena agama adalah fenomena universal manusia. Selama ini belum ada laporan penelitian dan kajian yang menyatakan bahwa ada sebuah masyarakat yang tidak mempunyai konsep tentang agama. Walaupun peristiwa perubahan sosial telah mengubah orientasi dan makna agama, hal itu tidak mereduksi eksistensi agama dalam masyarakat. Setiap masyarakat tetap membutuhkan agama yang diyakininya benar. Menurut Durkheim dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life, bahwa tidak ada agama yang salah di dunia ini. Semua agama benar menurut mode masing-masing. Semua agama memenuhi kondisi-kondisi tertentu dari eksistensi manusia, meskipun dengan cara yang berbeda-beda.[1]
Untuk itu, kajian agama selalu akan terus berkembang dan menarik. Karena itulah kajian tentang masyarakat tidak akan lengkap tanpa melihat agama sebagai salah satu faktornya. Seringkali kajian tentang politik, ekonomi dan perubahan sosial dalam suatu masyarakat melupakan keberadaan agama sebagai salah satu faktor determinan. Tidak mengherankan jika hasil kajiannya tidak dapat menggambarkan realitas sosial yang lebih komprehensif, syamil dan kamil.[2]
Dewasa ini telah muncul suatu kajian agama yang menggunakan antropologi dan sosiologi sebagai basis pendekatannya. Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya untuk memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini, agama tampak akrak dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan serta memberikan jawabannya. Dengan kata lain, cara yang digunakan disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah, dapat pula digunakan untuk memahami agama.[3] Untuk itu, Berbagai pendekatan dalam memahami agama yang selama ini digunakan, akan dipandang pincang tanpa memahami realitas yang melingkupi manusia yang tercermin dari budayanya.[4]
Melalui pendekatan antropologi, agama yang berada pada daratan empirik akan dapat dilihat latar belakang kemunculan dan perumusannya. Hal ini dikarenakan antropologi berupaya melihat hubungan antara agama dengan berbagai pranata sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat ditemukan adanya hubungan yang positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan politik. Dengan menggunakan pendekatan dan perspektif antropologi pulalah dapat diketahui bahwa doktrin-doktrin dan fenomena keagamaan, ternyata tidak berdiri sendiri, dan tidak pernah terlepas dari jaringan institusi dan kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya[5]. Inilah makna dari penelitian antropologi dalam memahami gejala-gejala keagamaan.[6]
Salah satu di antara para peneliti agama yang berupaya mengkaji Islam dari perspektif antropologi ini adalah Geertz sendiri. Penelitiannya yang telah menghasilkan trikotomi Agama Jawa tersebut sampai sekarang terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia hingga menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa.[7]
Karya Geertz sangat populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia khususnya di Jawa. Trikotomi Geertz ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya,[8] ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama-khususnya Islam-dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.[9]
B. Rumusan Masalah
Dari pendahuluan di atas, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penelitian Clifford Geertz dilaksanakan?
2. Apa temuan Clifford Geertz dalam penelitiannya tersebut?
3. Bagaimana pandangan ktisis kaum intelektual terhadap temuan Geertz?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan kembali metode dan hasil penelitian living Islam yang dilakukan oleh Clifford Geertz serta mengungkap pro-kontra dari temuan tersebut dan menganalisisnya secara kritis, obyektif, dan proporsional.
II. PEMBAHASAN
A. Prosedur Penelitian Clifford Geertz
Penelitian antropologis yang dilakukan Clifford Geertz di Mojokuto mulai Mei 1953-September 1954 merupakan salah satu bentuk penelitian yang meneliti hubungan agama dengan mekanisme pengorganisasian sosial ( social organization).[10] Penelitian ini menghasilkan konstruksi nalar Jawa yang sangat berpengaruh bagi perkembangan sosial, politik, dan budaya di Indonesia. Laporan Geertz menyuguhkan tiga varian agama Jawa: abangan, santri, dan priyayi. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena Agama Jawa ialah kemampuan-nya mendeskripsikan secara detail ketiganya dan menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh atas ketiganya.
Metode kerja yang dipakai Geertz dalam pengumpulan data-data selama penelitiannya di Mojokuto, adalah penguasaan bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan lokal, pembagian tugas dengan tim peneliti lain, pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan detail, dan pengumpulan data-data statistik. Dan bagian terbesarnya digunakan untuk kegiatan observasi-partisipatif.[11] Prinsip kerja yang digunakan Geertz berdasarkan obyektifitas peneliti profesional.[12]
Pengamatan Geertz tentang Mojokuto terkait profesi penduduk setempat, penggolongan penduduk menurut pandangan masyarakat Mojokuto berdasarkan kepercayaan, preferensi etnis dan pandangan politik, dan ditemukannya tiga inti struktur sosial yakni desa, pasar dan birokrasi pemerintah yang mencerminkan tiga tipe kebudayaan: abangan, santri dan priyayi. Struktur sosial desa diasosiasikan kepada para petani, buruh kecil dan proletar kota yang penuh dengan tradisi leluhur yang berupa upacara slametan, kepercayaan terhadap makhluk halus seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, serta tradisi petungan, tingkeban, babaran, pasaran, pitonan, dan banyak lagi kegiatan-kegiatan lain yang terkait dengan hal-hal gaib yang menunjuk kepada tradisi keagamaan abangan.[13] Sementara pasar -terlepas dari etnis Cina- diasosiasikan kepada petani, pengusaha kaya dan pedagang besar dari kelompok Islam berdasarkan kondisi historis dan sosial dimana agama Timur Tengah berkembang melalui perdagangan dan kenyataannya yang menguasai ekonomi Mojokuto adalah mereka memunculkan subvarian keagamaan santri.[14] Yang terakhir adalah subvarian priyayi. Varian ini menunjuk pada elemen Hinduisme lanjutan dari tradisi Keraton Hindu-Jawa. Sebagaimana halnya Keraton (simbol pemerintahan birokratis), maka priyayi lebih menekankan pada kekuatan sopan santun yang halus, seni tinggi, dan mistisisme intuitif dan potensi sosialnya yang memenuhi kebutuhan kolonial Belanda untuk mengisi birokrasi pemerintahannya.[15]
B. Temuan Clifford Geertz
1. Tiga Varian Agama Jawa
a. Varian Abangan
Bagi sistem keagamaan Jawa, slametan merupakan pusat tradisi yang menjadi perlambang kesatuan mistis dan sosial di mana mereka berkumpul dalam satu meja menghadirkan semua yang hadir dan ruh yang gaib untuk untuk memenuhi setiap hajat orang atas suatu kejadian yan ingin diperingati, ditebus, atau dikuduskan. Misalnya kelahiran, kematian, pindah rumah, mimpi buruk, ganti nama, sakit, dan sebagainya. Struktur upacaranya terdiri dari hidangan khas, dupa, pembacaan doa Islam, dan pidato tuan rumah yang disampaikan dalam bahasa Jawa kromo inggil yang resmi. Bagi kalangan abangan yang terdiri dari petani dan proletar, slametan adalah bagian dari kehidupannya.
Dalam tradisi slametan dikenal adanya siklus slametan: 1) yang berkisar krisis kehidupan; 2) yang berhubungan dengan pola hari besar Islam namun mengikuti penanggalan Jawa; 3) yang terkait dengan integrasi desa, bersih desa (nyadranan); 4) slametan sela untuk kejadian luar biasa yang ingin dislameti. Semuanya menunjukkan betapa slametan menempati setiap proses kehidupan dunia abangan. Slametan berimplikasi pada tingkah laku sosial dan memunculkan keseimbangan emosional individu karena telah dislameti.[16]
Kepercayaan kepada roh dan makhlus halus bagi abangan menempati kepercayaan yang mendasari misalnya perlunya mereka melakukan slametan. Mereka percaya adanya memedi, lelembut, tuyul, demit, danyang, dan bangsa alus lainnya. Hal yang berpengaruh atas kondisi psikologis, harapan, dan kesialan yang tak masuk akal. Semuanya melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam, dan keunggulan manusia atas bukan manusia.[17] Gambarannya adalah kebudayaan orang Jawa berkembang dan hutan tropis yang lebat berubah menjadi persawahan dan rumah, makhlus halus mundur ke sisa belantara, puncak gunung berapi, dan Lautan Hindia.
Kalau kepercayaan mengenai roh dan berbagai slametan merupakan dua sub katagori daripada agama abangan, maka yang ketiga adalah kompleks pengobatan, sihir dan magi yang berpusat pada peranan seorang dukun.[18] Ada beberapa macam dukun: dukun bayi, dukun pijet, dukun prewangan, dukun calak, dukun wiwit, dukun temanten, dukun petungan, dukun sihir, dukun susuk, dukun japa, dukun jampi, dukun siwer, dukun tiban. Masyarakat Mojokuto secara umum mengakui adanya dukun, namun apakah mereka percaya kepada kemampuan dukun merupakan masalah lain. Ada konsep lain yang menyertainya yaitu kecocokan. Jadi kecocokan terhadap salah satu dari beberapa dukun lain adalah merupakan ukuran mandhi atau tidaknya dukun tersebut.
b. Varian Santri
Mojokuto yang berdiri pada pertengahan akhir abad ke-19, jemaah muslimnya terkristal dalam latar abangan yang umum. Sementara mereka yang terdiri dari kelas pedagang dan banyak petani muncul dari utara Jawa memunculkan varian santri. Perbedaan yang mencolok antara abangan dan santri adalah jika abangan tidak acuh terhadap doktrin dan terpesona kepada upacara, sementara santri lebih memiliki perhatian kepada doktrin dan mengalahkan aspek ritual Islam.[19] Santri juga lebih peduli kepada pengorganisasian sosial umat di sekeliling mereka. Di Mojokuto, ada empat lembaga sosial yang utama; parpol Islam, sekolah agama, birokrasi pemerintah/Depag, dan jamaah masjid/langgar. Keempatnya berpautan baik pada santri yang modern dan kolot. Ada tiga titik komunitas santri di Mojokuto: yakni petani santri desa yang kaya, pedagang kecil kota, dan keluarga penghulu/aristokrasi santri.[20] Perbedaaan sosial inilah yang menyebabkan timbulnya konflik-konflik di antara mereka. Konflik itu terpecahkan oleh kesamaan agama santri.[21] Antara tahun 1953-1954, ada satu PSII yang menyisakan beberapa orang SI yang asli dan kerabat keluarga, partai NU sebagai Orsos dan Parpol yang digabungkan dalam satu kesatuan organisasi yang agak lemah, Masyumi sedikit lebih baik dalam organisasi yang dipimpin orang Muhammadiyah, dan Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi sosial.[22]
Pembagian santri modern dan konservatif oleh Geertz didasarkan pada 5 perbedaan tafsir keduanya; kehidupan yang ditakdirkan lawan kehidupan yang ditentukan sendiri, pandangan yang totalistik lawan terbatas, Islam sinkretik lawan Islam murni, perhatian kepada pengalaman religius lawan penekanan aspek instrumental agama, pembenaran atas tradisi dan madzhab lawan pembenaran purifikasi secara umum dan pragmatis.[23] Sehingga pandangan dunia santri kolot sebenarnya lebih dekat kepada abangan. Hubungan santri modernis dan konservatif lebih kepada penyikapan terhadap abangan. Jika modernis menekankan disasosiasi dan purifikasi dalam sebuah kelompok kecil pemimpin agama kaum konservatif mencoba mengambil jalan tengah yang selaras dengan tradisi yang berlaku.
Pandangan keagamaan santri modernis vis a vis konservatif mempolakan pengorganisasian politik yang sama. Ada Masyumi-Muhammadiyah dan PSII sebagai progresif-modernis dan NU yang konservatif. Jika NU mengalami konflik antara generasi mudanya yang terpelajar dan terpengaruh kota dengan kiai-kiai pedesaan yang lebih tua, sementara konflik dalam Masyumi-Muhammadiyah antara yang saleh dan sekuler atau mengatur agar Islam modernis tidak menjadi sekuler.[24]
Untuk mempertahankan doktrin santri mereka mengembangkan pola pendidikan yang khusus dan terus menerus. Di antaranya pondok (pola santri tradisional), langgar dan masjid (komunitas santri lokal), kelompok tarekat (mistik Islam tradisonal) dan model sekolah yang diperkenalkan oleh gerakan modernis. Pertemuan antara pola pondok dan sekolah memunculkan varian pendidikan baru dan upaya santri memasukkan pelajaran doktrin pada sekolah negeri/sekuler.
Terkait ide negara Islam, santri konservatif memahaminya sebagai teokrasi di mana para kyailah yang berkuasa. Sementara modernis berpandangan ada jaminan non muslim tidak menjadi kepala negara dan konstitusi yang mencantumkan hukum harus sesuai dengan jiwa al-Quran dan Hadis dan menyerahkan pelaksanaannya pada pembuat Undang-undang. Geertz memandang Depag merupakan kompromi kedua santri terhadap keberadaan negara nasional. Pada akhirnya terjadi rivalitas kedua santri menguasai birokrasi di Depag.
Pola ibadat santri yang meliputi sembahyang, shalat Jumat dan puasa di Mojokuto dalam beberapa masalah masih terpengaruh oleh perbedaan santri modernis dan konservatif. Di antaranya persoalan khutbah, teraweh, tadarus dan akhir liburan puasa. Terkait shalat itulah yang secara tegas membedakan antara santri dengan abangan dan priyayi.
c. Varian Priyayi
Priyayi mewakili aristokrasi Jawa. Kebanyakan mereka berdiam di kota yang disebabkan ketidakstabilan politik dalam kerajaan masa pra-kolonial, karena filsafat mereka yang melihat ke dalam yang lebih menghargai prestasi mistik daripada keterampilan politik, upaya Belanda merangkul petani. Mereka adalah birokrat, klerk/juru tulis, guru bangsawan yang makan gaji. Priyayi asalnya adalah keturunan raja-raja besar Jawa yang tersisa merupakan hasil dari kehidupan kota selama hampir 16 abad., namun berkembang oleh campur tangan Belanda kepada kelompok instrumen administrasi pemerintahan.
Priyayi memandang dunia ini dengan konsep alus dan kasar. Alus menunjuk pada murni, berbudi halus, tingkah laku yang halus, sopan, indah, lembut, beradab dan ramah. Simbolnya adalah tradisi kromo-inggil, kain bagus yang alus, musik alus. Dan konsep alus ini bisa menunjuk apa saja yang semakna dengan alus. Lawan dari alus adalah kasar dan merupakan kebalikan dari alus, bahasa kasar, tingkah laku kasar. Konteks priyayi bertemu dengan abangan dalam hal alus dan kasar. Sementara titik kehidupan keagamaan priyayi berpusat etika, seni dan mistik. Yang menggabungkan unsur ketiganya adalah rasa.
Ada empat prinsip pokok yang menjiwai etiket priyayi yakni bentuk yang sesuai untuk pangkat yang tepat, ketidaklangsungan, kepura-puraan, dan menghindari perbuatan yang ngawur atau tak menguasai diri. Ada banyak cara yang ditunjukkan oleh priyayi untuk menunjukkan sesuatu namun tetap berpegang pada prinsip tadi. Hal ini yang mengesankan priyayi adalah kaku, bertingkat dan formal.
Priyayi menganggap bahwa wayang, gamelan, lakon, joged, tembang dan batik adalah perwujudan kesenian yang alus. Berbeda halnya dengan ludrug, kledek, jaranan, dan dongeng sebagai kesenian yang kasar. Dan kesenian itu mengekspresikan nilai-nilai priyayi. Tidak mungkin bagi priyayi Mojokuto (camat misalnya) mengundang ludrug untuk pesta pernikahan anaknya.
Pandangan dunia priyayi terhadap aspek religius disebut dengan mistik. Mistik yang dimaksud adalah serangkaian aturan praktis untuk memperkaya kehidupan batin orang yang didasarkan pada analisa intelektual atau pengalaman. Tujuan pencarian mistik adalah pengetahuan tentang rasa dan itu harus dialami oleh priyayi. Ritual yang dilakukan adalah bentuk tapa dan semedi dalam keadaan ngesti (menyatukan semua kekuatan individu dan mengarahkannya pada tujuan tunggal, memusatkan kemampuan psikologis dan fisiknya ke arah satu tujuan yang sempit).[25]
Sekte-sekte mistik Mojokuto dalam bentuknya yang formal mengambil anggota dari pejabat (wedana), aparat (mantri polisi), penilik sekolah, juru gambar dan sejenisnya dari kalangan priyayi.
2. Konflik dan Integrasi
Agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan demikian ketiga varian agama Jawa di Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling kontradiksi. Geertz menyimpulkan[26]:
1. Ada banyak antagonisme diantara para pemeluk berbagai orientasi keagamaan; dan antagonisme ini mungkin sedang meningkat;
2. Sekalipun ada perbedaan antagonisme, semua/hampir semua orang Jawa memegang nilai-nilai yang sama yang cenderung melawan efek memecah dari penafsiran-penafsiran yang berbeda terhadap nilai-nilai ini. Lagipula, ada berbagai mekanisme sosial yang cenderung mencegah konflik nilai mempunyai akibat-akibat yang mengganggu.
3. Faktor yang mempertajam konflik:
a. Konflik ideologis yang hakiki karena ketidak senangan terhadap nilai-nilai kelompok lain.
b. Sistim stratifikasi sosial yang berubah dan mobilitas status yang cenderung untuk memaksakan adanya kontak diantara individu-individu dan kelompok-kelompok yang secara sosial dulunya sedikit terpisah
c. Perjuangan untuk kekuasaan politik yang makin meningkat secara tajam untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan pemerintah kolonial yang cenderung untuk menyuburkan perbedaan-perbedaan agama dengan kepentingan politik
d. Kebutuhan akan kambing hitam untuk memusatkan ketegangan yang dibangkitkan oleh perubahan sistim sosial yang cepat
Adapun hal-hal yang meredakan konflik tersebut antara lain:
a. Perasaan berkebudayaan satu, termasuk makin pentingnya nasionalisme, yang menitikberatkan pada kesamaan yang dipunyai orang Jawa (atau bangsa Indonesia) ketimbang pada perbedaannya
b. Kenyataan bahwa pola-pola keagamaan tidak terwujud secara langsung dalam bentuk-bentuk sosial, secara murni dan sederhana, melainkan dalam banyak cara yang berliku-liku, hingga janji keagamaan dan janji-janji lainnya kepada kelas, tetangga, dan sebagainya cenderung untuk seimbang, dan berbagai individu dan kelompok timbul, yang bias memanikan perantara.
c. Pertumbuhan mekanisme sosial yang tetap untuk bentuk-bentuk integrasi sosial yang pluralistic dan nonsinkretis dimana orang yang berasal dari berbagai pandangan sosial dan nilai dasar yang berbeda dapat bergaul dengan cukup baik satu sama lain dan menjaga agar masyarakat tetap berfungsi.
Ketegangan sosial terjadi antara varian priyayi dan santri yang tidak sepakat dalam banyak hal dan kebencian petani terhadap aristokarasi yang memerintah yang eksploitatif dan pedagang santri kota sudah berlangsung lama. Sementara ketegangan ideologi abangan dengan priyayi diungkapkan lebih halus dibanding keduanya dengan santri. Untuk konflik kelas terjadi antara priyayi dengan abangan dengan tuduhan orang desa. Stratifikasi sosial masa setelah revolusi ini tidak sekaku masa kolonial dimana abangan dapat meraih status yang lebih tinggi karena prestasinya sudah terjadi dan karena abangan sudah lebih terorganisir.
Faktor pemersatu yang menghilangkan semua perbedaan ketiga varian karena ketiganya merasa memiliki faktor itu adalah Riyaya. Yakni hari raya Idul Fitri yang merupakan hari besar bagi umat Islam setelah berpuasa Ramadhan.
C. Analisis Temuan Clifford Geertz
Kajian Geertz tentang varian Islam di Jawa memang sangat monumental. Namun sebagai peneliti agama yang berasal berasal dari komunitas akademik sosial murni[27], sosok Geertz beserta kajian religius antropologisnya masih perlu untuk dianalisis secara komperhensif. Analisis dan kritik atas hasil penelitian Geertz tak kunjung usai hingga saat ini. Sebagaimana yang ditunjukkan Azumardi Azra dalam artikelnya: Islam Observed Dan Santri, Azra menilai Geertz lebih melihat masyarakat Muslim sebagai 'teks' sosial-kultural daripada entitas yang pada dasarnya juga terbentuk, atau setidaknya dipengaruhi oleh teks-teks keagamaan tertulis. Teks-teks ini mengalami transmisi dari satu generasi masyarakat Muslim ke generasi berikutnya, yang pada gilirannya, sedikit banyak, juga dipengaruhi lingkungan sosial-kultural para penulisnya. Tetapi, satu hal jelas, bahwa teks-teks keagamaan itu tetap terkait erat dengan scriptures awal dan dasar. Sebab itu, keliru jika orang memandang masyarakat keagamaan sebagai teks sosial-kultural belaka, yang tidak ada hubungannya dengan scriptures.[28]
Azra menegaskan bahwa dikotomi masyarakat Muslim santri yang dikontraskan dengan masyarakat Muslim abangan sebagaimana dikaji Geertz dalam bukunya merupakan hasil dari 'thick description' yang lebih menekankan pada pandangan bahwa masyarakat keagamaan adalah teks sosial-keagamaan daripada entitas lainnya. Hal inilah yang juga dikritik sejarawan Marshall GS Hodgson (The Venture of Islam, Vol 2, 1974), bahwa keunggulan kajian Geertz tentang masyarakat Muslim Jawa ditandai kesalahan sistematik besar. Yaitu, ketika Geertz mengidentifikasi kaum santri berdasarkan kerangka yang diberikan kaum skripturalis; dan pada saat yang sama mengelompokkan kaum Muslim lainnya ke dalam kelompok abangan. Dan kelompok terakhir ini secara simplistis dia sebut sebagai lebih menganut tradisi Hindu-Budha daripada Islam. Bertahannya kelompok abangan, menurut Geertz, terutama karena Islam di Indonesia telah lama terputus dengan 'pusat-pusat' Islam di Timur Tengah seperti Makkah, Madinah, dan bahkan Kairo. Argumen Geertz ini jelas keliru, karena sejak masa awal perkembangannya, Islam di Indonesia tidak pernah terputus dengan Makkah, Madinah, dan belakangan Kairo. Adanya 'jaringan ulama' antara Haramayn dan Dunia Melayu-Indonesia membuktikan, hubungan antara Islam di Indonesia dengan Islam di tempat-tempat lain tidak pernah terputus.[29]
Kritik lain muncul dari Harsya W. Bachtiar yang mengatakan bahwa kaum abangan tidak harus mengacu pada tradisi rakyat yang pokok yang terdiri dari tradisi kecudayaan rakyat biasa, wong cilik. Dengan kata lain kelirulah untuk menganggap tradisi kebudayaan kaum tani sebagai tradisi abangan. Demikian pula mengenai varian kaum santri bisa saja berasal dari golongan rendahan dan karena banyak orang priyayi telah diasuh oleh pelayan-pelayan dari golongan rendahan yang berada dalam kedudukan untuk mempengaruhi mereka, maka apa yang di sini disebut “kepercayaan rakyat”atau kepercayaan animistik, merupakan sesuatu yang lazim di kalangan orang-orang yang oleh Geertz disebut sebagai santri dan priyayi, meskipun wajarlah apabila mereka tidak mengakuinya.[30]
Senada dengan dua kritik di atas, Parsudi Suparlan mengatakan, bahwa sehubungan dengan penggolongan abangan dan santri, kelemahannya adalah karena istilah abangan adalah istilah donatif, dan bukanlah istilah referensi untuk mengidentifikasikan diri sendiri. Karena dalam istilah abangan tercakup isinya yang bersifat merendahkan derajat (derogatif) yang biasanya digunakan oleh mereka yang taat beribadah untuk menamakan mereka yang tidak atau kurang taat. Sedangkan mereka yang tidak taat menjalankan ibadah biasanya menamakan diri mereka bukan sebagai abangan, tetapi sebagai orang Islam. Sedangkan istilah santri dapat berfungsi sebagai istilah donatif maupun sebagai istilah referensi untuk mengidentifikasikan diri sendiri.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Clifford Geertz adalah seorang antropolog yang lebih memperhatikan situasi empiris orang Islam dalam konteks lokal. Kehebatan Geertz adalah pada kemampuan analitik teoritisnya dalam memahami dan menjelaskan fenomena orang Islam seperti yang dia pelajari di Mojokuto. Pengaruh Geertz melampaui batas disiplin ilmu antropologi. Sarjana wilayah Asia Tenggara, apapun disiplinnya, termasuk Agama, Sejarah, Politik, dan Sosiologi, tidak melewatkan karya-karya Geertz. Sarjana-sarjana Indonesia yang memodifikasi teori Geertz antara lain Harsja Bachtiar, Supardi Suparlan, Kontjaraningrat, Zamakhsari Dhofier, dan para antropolog dan sarjana muda setelah mereka. Kajian-kajian agama dan Islam modern Indonesia dan Asia Tenggara juga tidak melewatkan karya-karya Geertz.
Mengenai istilah yang dipakai dalam bukunya, tentu saja bukan Geertz yang menemukan istilah santri, abangan dan priyayi, karena istilah-istilah ini sudah dipakai meskipun di kalangan yang lebih terbatas. Namun, Geertz lah yang pertama-tama mensistematisasikan istilah-istilah ini sebagai mewakili kelompok-kelompok kultural yang signifikan. Kritik terhadap Geertz seputar penggunaan istilah priyayi (yang bersifat kelas) dan karenanya tidak cocok disandingkan dengan santri dan abangan (yang bersifat keagamaan), seputar kurangnya pemahaman Geertz terhadap teks-teks Islam sehingga menyangka bahwa tradisi selamatan di Jawa adalah murni bersifat lokal dan tidak ada hubungannya dengan pengaruh normatif Islam, seputar dikotomi santri-abangan yang dikritik terlalu berat sehingga meniadakan orang-orang santri yang abangan atau abangan yang santri ataupun wilayah abu-abu, dan banyak aspek lainnya. Tapi yang jelas, dari Geertz lah para sarjana belajar tentang agama di Jawa.
[1]Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama (Yogyakarta, LKIS, 1999), 19.
[2]Jamhari Ma'ruf, “Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam,” http://www.ditpertais.net/artikel/ jamhari01.asp, (diakses pada 17 September 2007), 1.
[3]Akhmad Taufiq, et. Al., Metodologi Studi Islam, (Malang: Bayumedia Publishing, 2004), 15.
[4]Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa pendekatan antropologis sangat penting untuk memahami agama Islam, karena konsep manusia sebagai ‘khalifah’ (wakil Tuhan) di bumi, misalnya, merupakan simbol akan pentingnya posisi manusia dalam Islam. Lihat Ma'ruf, Loc. Cit.
[5]Mengkaji budaya dan masyarakat yang melingkupi kehidupan manusia juga menjadi sangat penting. Kebudayaan, sebagai system of meaning yang memberikan arti bagi kehidupan dan perilaku manusia, adalah aspek esensial manusia yang tidak dapat dipisahkan dalam memahami manusia. Mengutip Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jaring-jaring (web) kepentingan yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jaring-jaring itu. Lihat Ma'ruf, Op. Cit.,3.
[6]Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. VI; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 343-344.
[7]Daniel Zuchron, “Trikotomi Geertz Yang Monumental,” (Disampaikan oleh dalam Diskusi Bulanan Staf PP. LAKPESDAM NU, 30 Mei 2006 di Gedung Perpustakaan PBNU) Dimuat 19/07/2006 oleh A. Fawaid, http://www.lakpesdam.or.id/index.php?id=82, (diakses pada 17 September 2007), 1.
[8]Karya Geertz ini disebut untuk sekedar memberikan ilustrasi bahwa kajian antropologi di Indonesia telah berhasil membentuk wacana tersendiri tentang hubungan agama dan masyarakat secara luas. Antropologi yang melihat langsung secara detil hubungan antara agama dan masarakat dalam tataran grassroot memberikan informasi yang sebenarnya yang terjadi dalam masyarakat. Melihat agama di masyarakat, bagi antropologi adalah melihat bagaimana agama dipraktikkan, diinterpretasi, dan diyakini oleh penganutnya. Jadi pembahasan tentang bagaimana hubungan agama dan budaya sangat penting untuk melihat agama yang dipraktikkan Lihat Ma'ruf, Loc. Cit.
[9]Ibid, 1.
[10]M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004), 32.
[11]Zuchron, Loc. Cit.
[12]Jadi menurut Geertz peneliti adalah instrumen utama penelitiannya sekaligus merupakan alat yang sangat penting dalam mengumpulkan dan mencatat data, sehingga kesehatan peneliti di lapangan perlu dijaga, di samping perlunya alat-alat bantu seperti alat tulis, kamera dan lain-lain. Lihat Sri Alem Br.Sembiring, dalam Refleksi Metodologis: Perjalanan Penelitian Menghasilkan Etnografi. Geertz juga menyatakan bahwa ahli etnografi itu mampu mencari jalan keluar dari datanya, untuk membuat dirinya sendiri jelas dan agar para pembaca dapat melihat sendiri bagaimana tampaknya fakta-fakta itu, dan dengan demikian bisa menilai kesimpulan dan generalisasi ahli etnografi itu sesuai dengan persepsi aktualnya sendiri. Lihat Clifford Geertz, “The Religion of Java”, diterjemahkan Aswab Muhasin, Abangan, Santri Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. (Jakarta: Pustaka Jaya,1981), 9.
[13]Geertz memaparkan budaya dan tradisi yang melingkupi kaum abangan dan dijelaskannya secara terperinci dalam bukunya. Lihat Geertz, Ibid., 13-151.
[14]Ibid., 165-178.
[15]Ibid., 305-387.
[16]Keadaan yang didambakan adalah slamet, yang oleh orang jawa didefinisikan sebagai “gak ana apa-apa” (tidak terjadi apa-apa) atau lebih tepat, tak ada sesuatu yang akan menimpa (seseorang). Lihat Ibid., 17-18.
[17]Ibid., 36.
[18]Ibid., 116
[19]Ibid., 172.
[20]Di sini Geetz terkesan mengesampingkan adanya kaum santri yang abangan, ataupun abangan yang santri. Karena pada dasarnya tidak sedikit di antara petani miskin atau proletas yang juga taat terhadap doktrin agama.
[21]Ibid., 182.
[22]Ibid., 199.
[23]Ibid., 217
[24]Ibid., 227.
[25]Ibid., 430.
[26]Ibid., 476-477.
[27]Menurut Azumardi Azra, Geertz pada dasarnya adalah seorang antropolog sosial-budaya; tetapi pengaruhnya juga merambah ke bidang ilmu politik, perbandingan agama, sejarah, ekonologi, dan bahkan geografi. Kontribusinya yang kemudian menjadi landamark dalam bidang studi keagamaan adalah tentang Religion of Java ((1960), dan Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia (1968). Lihat Azumardi Azra, Islam Observed Dan Santri, http://www.republika.co.id/ korandetail.asp?, (diakses pada 17 September 2007), 1.
[28]Ibid.
[29] Ibid.
[30] Nata, OP. Cit., 348.