ORASI ILIMIAH Dr. SONARJOE DI DEPAN WISUDAWAN/WATI STAIM MIFTAHUL’ULA NGLAWAK - KERTOSONO
(disarikan dari: http://soenarjo.com/kiprah/?k=1&artikel_id=178)
Kedepan Nasionalisme akan menghadapi dua tantangan, yaitu tantangan eksternal yang dititikberatkan pada perjuangan melawan pihak luar (outward oriented) untuk merdeka, mandiri, dan unggul dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam pergaulan antar bangsa. Sedangkan tantangan internal dititikberatkan pada peningkatan kondisi internal : perluasan kesempatan kerja, belajar, kesehatan, kepastian hukum, pemerataan pembangunan, kelestarian lingkungan, dsb. Tantangan eksternal dari nasionalisme lalu mengacu pada rentetan perjuangan bangsa untuk merdeka, mandiri dan unggul dalam bidang, politik, ekonomi, sosial dan budaya dalam pergaulan antara bangsa. Tantangan ini kemudian menjadi lebih kompleks tatkala kita sebagai bangsa diharuskan untuk tidak hanya loyal kepada teman se-negara, tetapi juga loyal kepada teman se-bumi kita. Bukan lagi merdeka dari dominasi politik, tetapi bagaimana merdeka secara ekonomi, dan sosial-budaya. Bahkan bagaimana kita bisa “unggul” dalam kemitraan dan persaingan global. Hal itu disampaikan Dr. Soenarjo, M.Si – Wakil Gubernur Jawa Timur dalam Orasi Ilmiah di Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul ’Ula (STAIM), Desa Nglawak – Kertosono, Selasa siang, 5 Desember 2006 kemarin.Untuk mewujudkan integrasi nasional memerlukan kata kunci yaitu adanya kesamaan pola pikir dan wawasan yang memandang kepentingan nasional diatas kepentingan individu, golongan, suku, ras dan Agama. Cara pandang inilah yang kita sebut dengan wawasan kebangsaan. Kata kunci yang patut digaris bawahi dalam konteks tugas Generasi bagi para kaum muda adalah tegaknya praktek dan keteladanan kemandirian yang bisa dinilai dan teruji secara konkrit oleh generasi yang lebih muda. Keteladanan adalah realisasi semangat kepeloporan. Dan, kepeloporan adalah kerakteristik alami kaum muda dari segala zaman. Yakni, para generasi muda yang mempunyai pencerahan tentang Tugas Generasi, sambungnya.Orasi Ilmiah dalam rangka Dies Natalis ke-XI dan wisuda ke-6 lulusan STAIM Nglawak dilaksanakan di halaman STAIM dipimpin oleh Ketua STAIM Drs. H. Isrofil Amar, M.Ag, juga dihadiri oleh Bupati Nganjuk, Pengurus Yayasan STAIM, Pengasuh-Pengajar dan tokoh masyarakat sekitar. Dalam tahun ajaran 2006/2007 ini, STAIM mewisuda sebanyak 33 wisudawan/wati program S-1 dengan gelar S.PdI dan 60 wisudawan/wati program D-2 dengan gelar A.Ma.Keberadaan STAIM yang berdiri tanggal 2 Oktober 1995 dan diresmikan Bupati Nganjuk, Drs. Sutrisno R merupakan salah satu cita-cita luhur dari al-Maghfur-lah Hadratusy Syekh KH. Abdul Fatah (wafat tahun 1969), pendiri Pondok Pesantren Miftahulm ’Ula. Semasa hidupnya beliau pernah mengatakan kepada anggota keluarga maupun para santri, bahwa suatu saat nanti di Pondok Nglawak ini akan kita dirikan sebuah Perguruan Tinggi, agar para santri berpikiran lebih maju dan berwawasan global. Santri itu harus cakap, cakep, dan cukup dalam mengatasi segala permasalahan hidup ini.Selama sebelas tahun mengabdi, STAIM telah berhasil mencetak lulusan Program S-1 sebanyak 161 orang (S.PdI), program D2 sebanyak 244 orang (A.Ma), dan Program Akta IV sebanyak 45 orang. Eksistensi STAIM didukung pengakuhan dari Depdikbud dengan diterbitkannya Sertifikat TERAKREDITASI C Nomor 0332/Ak-1-III-014/SX7PBI/VII/2000 dan perpanjangan ijin dari Departemen Agama Nomor Dj.II/46/2004 tanggal 29 Maret 2004 serta Status TERAKREDITASI dari Depdiknas Nomor 06/BAN-PT/Ak-IX/S1/2006. Dan beberapa ijin operasional yang dikeluarkan oleh KOPERTAIS Wilayah IV Surabaya, nomor : 45/SK/KOP.IV/2002 tanggal 28 Januari 2002 dan Nomor 532.a/SK/KOP.IV/2002 tanggal 20 Agustus 2002.Dalam wisuda tahun ini, terpilih wisudawan/wati terbaik, dari program S-1 terpilih terbaik pertama Muhammad Asrori Ardiansyah – NPM/NIMKO : 2002880100423/2002.4.088.0001.00304 dengan IPK 3,66. Kedua, Ummi Haidaroh – NPM/NIMKO : 2002880100426/2002.4.088.0001.00307 dengan IPK 3,60 judul skripsi : Pendidikan Keagamaan Anak Dalam Keluarga Oleh Wanita Karir di Desa Jogomerto – Tanjung Anom – Nganjuk, ketiga Agustina Sri Astutik, NPM/NIMKO : 2002880100411/2002.4.088.0001.00292 dengan IPK 3,56 judul skripsi : Pelaksanaan Layanan Konseling Kelompok di SMPN 1 Kertosono. Dari program D-2, terpilih wisudawan/wati terbaik, antara lain : Ifah Nadhifah, NPM/NIMKO : 2004881700566/2004.4.88.0017.00272 dengan IPK 3,85 ; Paryumi, NPM/NIMKO : 2003881710507/2003.4.088.0017.00214 dengan IPK 3,72 ; dan Ta’tika Muthi’ah NPM/NIMKO : 200488170057/2004.4.88.0017.00293 dengan IPK 3,60.Selain itu Ki Soenarjo menekankan tiga kategori dalam pemahaman keagamaan, pertama pemahaman secara fundamentalisme mempunyai makna sebuah keyakinan yang didasarkan kepada sebuah idealisme akan sebuah ajaran atau aliran yang meyakini kemutlakan kebenaran dari agama yang diyakininya. Pada tataran tertentu fundamentalis identik dengan konservatisme, namun disisi lain fundamentalisme dapat bermakna ekstrim. Dimana demi keyakinannya maka seorang fundamentalis rela berbuat apa saja dan berkorban apa saja demi agama atau keyakinannya tersebut.Kedua, pemahaman secara sekulerisme identik dengan liberalisme, yaitu sebuah pandangan kebebasan yang pada tataran tertentu membuat perbedaan agama atau keyakinan benar-benar tipis atau bahkan tidak ada sama sekali. Gerakan pembaharuan yang mereka lakukan seringkali membuat kontroversi dikarenakan dianggap dapat membahayakan ideologi dari sebuah agama atau keyakinan. Ketiga, pemahaman secara konservatisme sebenarnya memiliki kedekatan dengan fundamentalisme, dimana konservatis memiliki keyakinan akan ideologi sebuah agama atau keyakinan, dan konservatisme yang kebablasan akan membentuk atau menjadi kelompok fundamentalisme. Namun pada sisi lain konservatisme identik dengan sesuatu yang berhubungan dengan tradisional. Sehingga pada tataran umum konservatisme relatif lebih banyak keberadaannya pada sebuah agama atau keyakinan.Pendekatan ini bukan hanya akan mendorong tumbuhnya pemahaman lintas budaya, melainkan juga dapat digunakan untuk menumbuhkan rasa memiliki, empati dan toleransi antar kelompok etnis di negeri yang berbudaya majemuk ini. Pendekatan alternatif di sini adalah pendekatan budaya (Kultural) bukan Struktural, yakni suatu pendekatan yang bertumpu pada kekuatan positif nilai-nilai yang terkandung dalam budaya lokal karena bangsa ini adalah bangsa yang sangat majemuk, yang mengacu pada pemberian perhatian, kepedulian, pembentukan sense of belonging, sense of common interest, dan penciptaan rasa keadilan sebagai warga sebuah negara bangsa yang bernama Indonesia, sambungnya.Pendekatan Budaya adalah sebuah pendekatan yang menggunakan produk-produk budaya sebagai sarana untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul akibat kemajemukan budaya atau etnisitas, jelas Ki Soenarjo.Mengakhiri Orasi Ilmiah, Ki Soenarjo yang juga dikenal dengan sebutan ”dalang mBeling” memberikan beberapa hal yang dapat menjadi bahan renungan bagi para wisudawan/wati, antara lain :1. Perubahan harus dilakukan secara konseptual dan gradual.Membangun kerusakan budaya jauh lebih sulit dari pada membangun kerusakan bangunan. Upaya ini tidak bisa jika hanya diselesaikan dengan pendekatan ekonomi, politik atau keamanan saja.2. Pendekatan agama dan budaya harus diintensifkan.Budayawan, ilmuwan, ulama/rohaniwan yang berpihak kepada nilai (dan bukan kepada kekuasaan) harus tampil atau harus ditampilkan untuk menjadi tulang punggung dalam membangun kehidupan yang beradab.3. Sensibilitas warga bangsa yang hanya berdimensi politik harus diseimbangkan dengan sensibilitas yang berdimensi agama dan budaya yang menghormati kedamaian, kerukunan dan kemajemukan serta memberi ruang gerak untuk hidup bagi seluruh umat manusia. Sensibilitas yang berdimensi ekonomi, politik, dan kemanan ternyata sering menjadi sumber konflik dan agresifitas massa. Sensibilitas semacam inilah yang perlu dikendalikan.4. Pendidikan politik perlu diberi penekanan pada hal-hal yang menyangkut pentingnya kemajemukan dan perbedaan, dalam arti bahwa kemajemukan dan perbedaan itu sudah merupakan skenario Sang Pencipta (The Trancendental Signified). Kemasannya harus diberi muatan yang signifikan mengenai pemahaman lintas budaya (cross-cultural understanding) dan studi komparatif mengenai agama. Di samping itu perlu juga dimasukkan pendidikan budi pekerti dan estetika untuk meredam munculnya politik kekerasan. ...