TAFSIR, TA’WIL DAN HERMENEUTIK

TAFSIR, TA’WIL DAN HERMENEUTIK
Oleh: MUHAMMAD ASRORI ARDIANSYAH
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li al-nas (petunjuk bagi umat manusia) dan sebagai Kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS 14:1). Salah satu ayatnya menjelaskan bahwa manusia tadinya merupakan satu kesatuan (ummatan wahidah), tetapi sebagai akibat lajunya pertumbuhan penduduk serta pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbullah persoalan-persoalan baru yang menimbulkan perselisihan dan silang pendapat. Sejak itu, Allah mengutus nabi-nabi dan menurunkan Kitab Suci, agar mereka -melalui Kitab Suci tersebut- dapat menyelesaikan perselisihan mereka serta menemukan jalan keluar bagi penyelesaian problem-problem mereka (QS 2:213).
Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi-fungsi yang digambarkan di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia untuk mempelajari dan memahaminya (baca antara lain QS 38:29), sehingga mereka dapat menemukan -melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat dan tersirat- apa yang dapat mengantar mereka menuju petujuk sebagaimana yang nyatakan oleh Allah swt.
Al-Qur’anul Karim adalah sumber tasyri’ pertama bagi umat Muhammad saw. Kebahagiaan mareka tergantung pada pemahaman maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung di dalamnya. Kemampuan setiap orang dalam memahami lafadz dan ungkapan Qur’an tidaklah sama, padahal penjelasannya sedemikan gamblang dan ayat-ayatnya pun sedemikian rinci. Perbedaan daya nalar di antara mereka ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-maknanya yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global. Sedangkan kalangan cerdik cendekia dan terpelajar akan dapat menyimpulkan pula dari padanya makna-makna yang menarik. Di antara dua kelompok ini terdapat aneka ragam dan tingkat pemahaman. Maka tidaklah mengherankan jika Qur’an mendapatkan perhatian besar dari umatnya melalui pengkajian intensif terutama dalam rangka menafsirkan kata-kata gharib (aneh, ganjil) atau mentakwilkan tarkib (susunan kalimat).[1]

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep tafsir, ta’wil dan hermeneutik?
2. Bagaimana cara kerja hermeneutik?
3. Bagaimana konsep hermeneutik dalam memahami al-Qur’an?

C. Tujuan Pembahasan
Pembahasan makalah ini bertujuan untuk memahami dan menganilisis serta menggambarkan konsep tafsir, ta’wil dan hermeneutik. Secara khusus makalah ini juga mengupas tentang metode hermeneutik yang kemudian dikaitkan dengan alat untuk memahami al-Qur’an sehingga mahasiswa mengetahui kontroversi yang terjadi seputar pemakaian hermeneutik dalam memahami al-Qur’an tersebut.

D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis karya ilmiah ini adalah library research (kajian pustaka). Kajian pustaka berusaha mengungkapkan konsep-konsep baru dengan cara membaca dan mencatat informasi-informasi yang relevan dengan kebutuhan. Bahan bacaan mencakup buku-buku, teks jurnal, majalah-majalah ilmiah dan hasil penelitian.[2] Penelitian ini bersifat kualitatif karena uraian datanya bersifat deskriptif, lebih menekankan proses daripada hasil, menganalisis data secara induktif dan rancangan yang bersifat sementara serta hasil penelitan yang dapat dirundingkan.[3]

2. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini berbentuk library research, maka dalam mengumpulkan data menggunakan metode dokumentasi. Suharsimi menjelaskan bahwa metode dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen dan sebagainya.[4]
Adapun sumber acuan yang digunakan adalah:
a. Sumber acuan primer, yaitu kepustakaan yang berwujud buku-buku teks yang mengkaji secara langsung tentang tafsir, ta’wil dan hermeneutika al-Qur’an.
b. Sumber acuan sekunder, yaitu kepustakaan yang berwujud jurnal, buletin artikel, opini dan beberapa tulisan terkait dengan tafsir, ta’wil dan hermeneutika al-Qur’an.

3. Teknik Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah content analysis (analisis isi). Sumadi mengemukakan bahwa metode ini hanya menganalisis data yang tekstual menurut isinya.[5] Sedangkan menurut Barcus,[6] content analysis merupakan analisis ilmiah tentang isi atau pesan suatu komunikasi. Secara teknis, penulis menjelaskan terlebih dahulu data-data terkait dengan tafsir, ta’wil dan hermeneutika al-Qur’an kemudian memperbandingkannya. Adapun terkait dengan hermeneutika al-Qur’an penulis berupaya memunculkan pandangan dari kelompok pendukung dan penolak penggunaan hermeneutika untuk mengkaji al-Qur’an serta menganalisisnya pada sub-bab tersendiri.

II. PEMBAHASAN
A. Konsep Tafsir, Ta’wil Dan Hermeneutik
1. Tafsir
Istilah tafsir di dalam Al-Qur’an dapat ditemukan pada surat al-Furqan ayat 33:
وَلاَ يَآْ تُوْ نَكَ بِمَثَلٍ اِلاَجِئْنَكَ بِا لْحَقِّ وَاَحْسَنَ تَفْسِيْرًا
Terjemahnya: “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling kuat penafsirannya (penjelasannya)” (Al-Furqan: 33).
Tafsir secara bahasa mengikuti wazan “taf’il”, berasal ari akar kata al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata kerjanya mengikuti wazan “daraba-yadribu” dan “nasara-yansuru”. Dikatakan “fasara (asy-syai’a)-yafsiru” dan yafsuru, fasran”, dan “fassarahu” artinya “abanahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam Lisanul Arab dinyatakan: kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkap maksud sesuatu lafaz yang musykil.[7]
Makna etimologis lain dari tafsir adalah: الايضاح والبيان (penjelasan), الكشف (pengungkapan) dan كشف المراد عن اللفظ المشكل (menjabarkan kata yang samar).[8] Tafsir juga berarti mengungkap segala sesuatu yang dapat dicapai panca indera atau pengertian-pengertian yang dapat dicapai dengan akal.[9]
Adapun secara terminologis, terdapat banyak sekali definisi yang disampaikan oleh para mufassir. Di antaranya adalah sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Husain adz-Dzahabi dari pengertian yang diberikan oleh az-Zarkasyi, yaitu: Ilmu yang dengannyalah al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dapat dipahami, dan dengannya pula arti yang terkandung di dalam al-Qur’an dapat dijelaskan untuk kemudian dikeluarkan darinya hukum-hukum dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya.[10]
Definisi lain diberikan oleh Abu Hayyan sebagaimana dikutip oleh Qattan adalah Ilmu yang membahas tentang cara pengungkapan lafadz-lafadz Qur’an, petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.[11]
Namun, dari banyaknya definisi yang diungkapkan oleh para ulama, adz-Dzahabi berkesimpulan bahwa ilmu tafsir adalah ilmu yang membahas tentang maksud (Murad) dari apa yang difirmankan oleh Allah swt sesuai dengan kemampuan manusia. Maka dari itu, tafsir meliputi seluruh aspek yang terkait dengan pemahaman arti dan penjelasan maksud (firman Allah).[12]
Di samping pengertian di atas, terdapat beberapa pengertian dari para ahli tafsir lainnya, diantaranya sebagaimana yang diberikan oleh Prof. Dr. Mahmud Basuni Faudah sebagai berikut[13]:
“Tafsir adalah ilmu yang menerangkan tentang nuzul (turunnya) ayat-ayat, hal ihwalnya, kisah-kisah, sebab-sebab yang terjadi dalam nuzulnya, tertib makkiyah dan madaniyahnya, muhkam dan mutasyabihnya; halal dan haramnya; wa’ad dan wa’idnya, nasikh dan mansukhnya, khas dan ‘ammnya, muthlaq dan muqayyadnya, perintah dan larangannya, ungkapan dan tamtsilnya dan lain sebagainya.”
Lebih lanjut, Faudah juga menjelaskan bahwa Tafsir ialah ilmu yang membahas tentang cara-cara mengucapkan lafadz-lafadz al Qur’an, madlulah dan ahkamnya secara ifrady (sendiri-sendiri) dan tarkib (tersusun) dan ma’aninya yang mengandung keterangan tentang hal ihwal susunannya.

2. Ta’wil
Pemahaman literal terhadap teks ayat Al-Quran tidak jarang menimbulkan problem atau ganjalan-ganjalan dalam pemikiran, apalagi ketika pemahaman tersebut dihadapkan dengan kenyataan sosial, hakikat ilmiah, atau keagamaan.
Dahulu, sebagian ulama merasa puas dengan menyatakan bahwa "Allahu a’lam bi muradihi" (Allah yang mengetahui maksud-Nya). Tetapi, ini tentunya tidak memuaskan banyak pihak, apalagi dewasa ini. Karena itu, sedikit demi sedikit sikap seperti itu berubah dan para mufasir akhirnya beralih pandangan dengan jalan menggunakan ta’wil, tamsil, atau metafora. Memang, literalisme seringkali mempersempit makna, berbeda dengan penta’wilan yang memperluas makna sekaligus tidak menyimpang darinya. Di sinilah ta’wil dibutuhkan.
Takwil sendiri secara bahasa berasal dari kata “al-aul” yang berarti kembali ke asal. Bila dikatakan: “آل إليه أولا ومآلا” artinya: kembali kepadanya. Dan apabila dikatakan: “أول الكلام تأويلا” artinya memikirkan, memperkirakan dan menafsirkannya.[14]
Menurut golongan salaf, takwil mempunyai dua arti, yaitu[15]:
a. Penafsiran kalam dan penjelasan maknanya. Dalam hal ini arti ta’wil sama dengan tafsir[16]. Sebagaimana yang dikatakan ibn Thabari:
اختلف أهل التأويل في هذه الآية
Artinya: “Para ahli ta’wil berbeda pendapat dalam ayat ini”. Yang dimaksud dengan ahlu ta’wil di sini adalah ahlu tafsir.
b. Takwil berarti menjelaskan kalam dengan sesuatu yang sesuai dengan yang dikehendaki/dimaksud kalam. Misalnya apabila kalam berbentuk perintah, maka takwilnya berupa perbuatan yang memenuhi perintah tersebut.
Adapun menurut muta’akhkhirun[17] ta’wil diartikan sebagai memalingkan/mengganti makna lafadz yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena adanya dalil yang menyertainya.[18]
Namun dari definisi ta’wil di atas bukan berarti dengan serta merta setiap kita tidak dapat menggunakan ta’wil tanpa didukung oleh syarat-syarat tertentu. Al-Syathibi mengemukakan dua syarat pokok bagi penta’wilan ayat-ayat al-Quran:
a. Makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas.
b. Arti yang dipilih dikenal oleh bahasa Arab klasik.
Syarat yang dikemukakan ini, lebih longgar dari syarat kelompok al-Zhahiriyah yang menyatakan bahwa arti yang dipilih tersebut harus telah dikenal secara populer oleh masyarakat Arab pada masa awal.
Dalam syarat al-Syathibi di atas, terbaca bahwa popularitas arti kosakata tidak disinggung lagi. Bahkan lebih jauh al-Syathibi menegaskan bahwa kata-kata yang bersifat ambigus/musytarak (mempunyai lebih dari satu makna) yang kesemua maknanya dapat digunakan bagi pengertian teks tersebut selama tidak bertentangan satu dengan lainnya.
Aliran tafsir Muhammad ‘Abduh mengembangkan lagi syarat penta’wilan, sehingga ia lebih banyak mengandalkan akal, sedangkan faktor kebahasaan dicukupkannya selama ada kaitan makna penta’wil-an dengan kata yang dita’wilkan. Karena itu, kata Jin yang berarti "sesuatu yang tertutup", diartikan oleh muridnya Rasyid Ridha sebagai kuman yang tertutup (tidak terlihat oleh pandangan mata).56 Pendapat ini mirip dengan pendapat Bint Al-Syathi’ yang secara tegas menyatakan bahwa "Pengertian kata Jin tidak harus dipahami terbatas pada apa yang biasa dipahami tentang makhluk-makhluk halus yang ‘tampak’ pada saat ketakutan seseorang di waktu malam atau dalam ilusinya. Tetapi, pengertiannya dapat mencakup segala jenis yang bukan manusia yang hidup di alam-alam yang tidak terlihat, tidak terjangkau, dan yang berada di luar alam manusia di mana kita berada."
Ta’wil, sebagaimana dikemukakan di atas, akan sangat membantu dalam memahami dan membumikan Al-Quran di tengah kehidupan modern dewasa ini dan masa-masa yang akan datang.
Sebelum menutup persoalan ini, perlu kita garisbawahi bahwa tidaklah tepat men-ta’wil-kan suatu ayat, semata-mata berdasarkan pertimbangan akal dan mengabaikan faktor kebahasaan yang terdapat dalam teks ayat, lebih-lebih bila bertentangan dengan prinsip-prinsip kaidah kebahasaan. Karena, hal ini berarti mengabaikan ayat itu sendiri.

Perbedaan antara Tafsir dan Takwil
Fungsi tafsir dan takwil sama-sama menjelaskan makna suatu ayat yang samar atau menguak kandungan makna teks-teks dalam Al-Qur’an, maka ada kalangan ulama’ yang menyamakan makna tafsir dan takwil. Di samping itu juga, terdapat pula ulama’ yang membedakannya, seperti Al-Maturidy dan Abu Zayd. Mereka berpendapat bahwa bahwa tafsir lebih umum dibanding takwil, sebab tafsir umumnya berfungsi menerangkan maksud yang terkandung dalam susunan kalimat. Sedangkan takwil digunakan untuk menjelaskan pengertian kitab-kitab suci, sedangkan tafsir juga menerangkan hal-hal yang lainnya.[19]
Sedangkan Nasr Hamid Abu Zayd berpendapat bahwa dalam diskursus Ilmu Tafsir Al-Qur’an, kata takwil ini biasa dibedakan dengan tafsir. Ringkasnya dapat dikatakan bahwa kalau tafsir menjelaskan aspek luar (dhahir) dari Al-Qur’an, sementara takwil merujuk kepada penjelasan-penjelasan makna-dalam dan tersembunyi. Bahwa dalam proses tafsir seorang penafsir menggunakan linguistik dalam pengertiannya yang tradisional, yaitu merujuk kepada riwayah, artinya peran penafsir dalam melakukan penafsiran hanya dalam kerangka mengenal simbol-simbol. Sedangkan dalam takwil, seorang penafsir selain menggarap dimensi lahiriah (dhahir) ayat, juga menggunakan perangkat keilmuan lain, baik ilmu-ilmu sosial maupun humaniora untuk menguak makna teks yang lebih dalam.[20]
Dari pendapat-pendapat di atas, dapat kita bedakan bahwa dalam tataran praktik antara tafsir dan takwil memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Tafsir dalam praktiknya berlaku untuk semua teks secara umum sedangkan takwil hanya berlaku untuk membuka tabir kesamaran makna teks-teks dalam kitab-kitab suci dengan menggunakan perspektif ilmu-ilmu yang lain guna mendapatkan makna yang diinginkan.

3. Hermeneutik
Hermeneutik berasal dari kata Yunani, hermeneuein, yang bermakna mengartikan, menafsirkan, menerjemahkan, dan bertindak sebagai penafsir dalam rangka membedakan hermeneutik dengan hermetik. Sedangkan hermetik merupakan pandangan filsafat yang diasosiasikan pada tulisan-tulisan hermetik; suatu literatur ilmiah di Yunani yang berkembang pada awal-awal abad setelah kristus. Tulisan ini disandarkan pada Hermes Trismegistus.[21]
Kehadiran hermeneutik tidak terlepas dari pertumbuhan dan kemajuan pemikiran tentang bahasa dalam wacana filsafat dan keilmuan lainnya. Pada awalnya, hermeneutik banyak dipakai oleh mereka yang berhubungan erat dengan kitab suci injil dalam menafsirkan kehendak Tuhan kepada manusia. Model ini dikenal dengan ilmu tafsir Kitab Suci. Namun, hermeneutik tidak hanya mutlak milik kaum penafsir Kitab Suci, ia berkembang pesat dalam pelbagai disiplin keilmuan yang luas. Kajian yang sama juga dilakukan pada teks-teks klasik Yunani dan Romawi. Bentuk hermeneutik pada kajian di atas mulai berkembang pada abad 17 dan 18.[22]
Hermeneutik secara luas dikenal sebagai ilmu penafsiran/interpretasi terhadap teks pada khususnya dan penafsiran bahasa pada umumnya. Istilah yang bermula dari bahasa Yunani kuno (hermeneuenin) ini pada zaman sekarang sangat akrab digauli para intelektual. Salah satu alasan penting menerapkan metode hermeneutik ini adalah objek (baca teks/bahasa) tidak memungkinkan diartikan tanpa melalui metode penafsiran. Ketidakmungkinan tersebut selain disebabkan karena situasi bahasa yang berbeda dan terus berubah, juga disebabkan alasan kesulitan para pembaca dalam memahami subtansi makna yang terkandung dalam teks-teks dan bahasa yang dipelajari.
Hal yang paling tampak dari kesulitan atas subtansi makna tersebut pada dasarnya juga disebabkan oleh realitas di mana tata bahasa tersebut ternyata mempunyai keterbatasan dalam menyaring inti dari teks-teks yang terkandung di dalamnya.
Karena keterbatasan inilah kemudian untuk memahami suratan kata-kata seseorang harus melalui pengkajian secara mendalam. Puisi, novel, dan karya tulisan lainnya yang bermaksud menafsirkan totalitas dunia seorang pengarang, misalnya, tentu saja tidak akan mampu terapresiasikan secara lengkap dalam kata-kata. Di sinilah fungsi hermeneutik diperlukan untuk menafsir bahasa.[23]

B. Cara kerja tafsir, ta’wil dan hermeneutik
Kalangan ilmuan klasik dan modern telah sepakat tentang pengertian hermeneutik, yang diartikan sebagai proses mengubah sesuatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti. Pengrtian tersebut merupakan peralihan antara sesuatu yang abstrak dan gelap kepada ungkapan yang jelas dalam bentuk bahasa yang dipahami manusia. Hermeneutik juga diartikan dengan menerjemahkan dan bertindak sebagai penafsir.[24]
Dari perkembangan pengertian tentang terma hermeneutik di setiap kurun yang berbeda, diskursus hermeneutik tidak lepas dari perbincangan inti hermeneutik sendiri. Dalam definisi-definisi hermeneutik hampir semuanya mempermasalahkan dan mengkaji ulang prinsip hermeneutik, yaitu masalah penafsiran di mana seorang penafsir mendekati subyek. Bila terdapat berbagai macam rumusan pengertian mengenainya, maka hal itu lebih merupakan sebuah proses penyusunan suatu tatanan dalam merespon problem penafsiran yang dimunculkan oleh para penafsir. Jelasnya penafsiran merupakan problem hermeneutik karena tindakan penafsiran terhadap fenomena dan gejala alam atau terhadap segala ekspresi kehidupan manusia, berusaha mengungkap arti di balik gejala alam atau makna di belakang ungkapan komunikasi antar manusia yang tadinya tidak diketahui menjadi diketahui dan dimengerti adalah batasan umum yang dianggap benar, baik oleh hermeneutik klasik maupun modern.[25]
Dalam The New Encyclopedia Britannica, dikatakan bahwa hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip umum dalam interpretasi Bible (hermeneutics is the study of the general principal of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Dalam sejarah, ada empat model utama interpretasi Bible, yaitu[26]:
a. Pertama, literal interpretation
b. Moral interpretation
c. Allegorical (kiasan) interpretation
d. Analogical interpretation
Dari model-model ini, yang menjadi arus utama sejak awal sejarah Kristen adalah model literal (model Antioch) dan model alegoris (model Alexandria).
Intinya, ada banyak puspa ragam hermeneutika. Namun menurut Fahrudin Faiz dalam bukunya Hermeneutika Al-Qur`an (2005), ada tiga tipe hermeneutika, yaitu[27]:
a. Hermeneutika sebagai cara untuk memahami. Contoh tokohnya adalah Schleiermacher, Dilthey, dan Emilio Betti.
b. Hermeneutika sebagai cara untuk memahami suatu pemahaman. Tokohnya semisal Heidegger (w. 1976) dan Gadamer.
c. Hermeneutika sebagai cara untuk mengkritisi pemahaman. Tokohnya semisal Jacques Derrida, Habermas, dan Foucault.



C. Pro dan Kontra Konsep Hermeneutika untuk al-Qur'an
1. Kelompok Pendukung
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk (hudan) memiliki posisi sentral dalam kehidupan manusia. Ia bukan saja sebagai landasan bagi pengembangan dan perkembangan ilmu-ilmu keislaman, namun ia juga merupakan inspirator, pemandu dan pemadu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah umat manusia. Hal ini bisa terlihat dari dari bermunculannya gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jam’at Islami di Pakistan, Wahabi di Saudi Arabia, maupun NU, Muhammadiyah, baik organisasi Islam lainnya di seluruh dunia.
Al-Qur’an sebagai sebuah teks, menurut Nasr Hamid Abu Zayd, pada dasarnya adalah produk budaya. Hal ini dapat dibuktikan dengan rentang waktu terkumpulnya teks Al-Qur’an dalam 20 tahun lebih yang terbentuk dalam realitas sosial dan budaya. Oleh karena itu, perlu adanya dialektika yang terus-menerus antara teks (Al-Qur’an) dan kebudayaan manusia yang senantiasa berkembang secara pesat. Jika hal ini tidak dilakukan, maka teks Al-Qur’an akan hanya menjadi benda atau teks mati yang tidak berarti apa-apa dalam kancah fenomena kemanusiaan. Teks al-Qur’an masih sangat mungkin menjadi obat mujarab, bacaan shalat, atau perhiasaan bacaan yang dikumandangkan tiap waktu. Akan tetapi visi transformatif dan kemanusiaan Al-Qur’an akan bisa hilang begitu saja.[28]
Mohammed Arkoun menegaskan, bahwa sebuah tradisi akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial. Al-Qur’an sebagai teks yang telah melahirkan tradisi pemikiran, pergerakan, bahkan perilaku keagamaan yang luas dalam rentang waktu panjang, tentu saja tidak bisa mengabaikan hal ini. Oleh karena berbagai macam metode penafsiran dan model tafsir dalam kurun waktu sejarah Islam adalah upaya yang patut dibanggakan sebagai usaha mendinamiskan Al-Qur’an yang sangat universal itu.[29]
Dalam usaha menangkap dan mendapatkan pesan dari teks Allah berwujud dalam Al-Qur’an tentu saja mengandung problem. Karena, setiap usaha menerjemahkan, menafsirkan, atau mencari pemahaman terhadap teks klasik yang berjarak waktu, budaya, tempat sangat jauh dengan pembacanya, selalu digelayuti problem hermeneutika (penafsiran). Dengan adanya problem penafsiran teks tersebut, maka ada sebuah teori filsafat yang digunakan menganalisis problem penafsiran, sehingga teks bisa dipahami secara benar dan komprehensif.
Hasan Hanafi juga mengajukan premis-premis metodis yang menjadi landasan filosofis bagi proses pembacaan atas teks suci. Ia menyatakan bahwa sebagaimana teks-teks lain, Qur’an juga harus menerima perlakuan yang sama karena ia menjadi obyek interpretasi yang sama dengan yang diperkenankan pada secular text.[30]
Dari suara kelompok ini dapat ditangkap bahwa keabsahan al-Qur’an sebagai sumber otoritatif digugat. Melalui pendekatan sosio-historis dan linguistik, Arkoun berkesimpulan, bahwa al-Qur’an is subject to historicity (tunduk pada sejarah), dan karenanya harus didekonstruksi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Jacques Derrida. Sedangkan Fazlur Rahman mengklaim, al-Qur’an adalah both the Word of God and the word of Muhammad (kompilasi Kata Allah dan kata Muhammad).[31]

2. Kelompok Penolak
Untuk membuktikan kelemahanan tafsir hermenutika -atau interpretasi-epistemologis- ini sesungguhnya bisa dilakukan dengan menggunakan kerangka epistema, seperti yang dilakukan oleh Dr. Ugi Sugiarto, dosen ISTAC-UIA Kuala Lumpur. Secara epistemis, terbukti bahwa kelahiran tafsir hermenutika tidak bisa dilepaskan dari sejarah Yahudi dan Kristen, ketika mereka dihadapkan pada pemalsuan kitab suci, dan monopoli penafsiran kitab suci oleh gereja. Dari sinilah mereka perlu melakukan dekonstruksi wahyu. Dengan teori linguistik, mereka susun tahap wahyu untuk menjustifikasi keabsahan tafsiran mereka, yang sama-sama bersumber dari wahyu, meski bukan wahyu verbal. Meski begitu, hermeneutika tetap tidak bisa menyelamatkan kitab suci mereka dari praktek pemalsuan, termasuk tidak lepas dari problem besar, hermeneutic circle.[32]
Realitas ini tidak dihadapi ummat Islam. Ummat Islam tidak pernah menghadapi problem seperti ummat Yahudi maupun Kristiani, baik menyangkut soal pemalsuan kitab suci maupun monopoli penafsiran. Di dalam Islam ada ilmu riwayat, yang tidak pernah disentuh oleh hermeneutika. Dengan ilmu ini, autentisitas al-Qur’an dan Hadits bisa dibuktikan.[33] Dengan ilmu ini, riwayat Ahad dan Mutawatir bisa diuji; dan dengannya, mana mushaf yang bisa disebut al-Qur’an dan tidak bisa dibuktikan. Dengannya, historitas tanzil, atau asbab an-nuzul -dan juga asbabul wurud- bisa dianalisis. Begitu juga, periodisasi tanzil, atau Makki dan Madani, bisa dirumuskan dengan bantuan ilmu tersebut. Dengannya juga, bisa disimpulkan, bahwa pembukuan al-Qur’an itu karena perintah Allah, bukan karena faktor sosial atau politik. Pengetahuan tersebut kemudian disistematikan oleh para ulama’ dalam kajian ‘Ulum al-Qur’an.[34]
Padahal, al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan menggunakan bahasa Arab untuk menjelaskan kepada ummat manusia, tentang apa saja ihwal kehidupan mereka. Kitab ini telah diturunkan secara mutawatir, dan tersimpan di antara dua ujung mushaf. Inilah anggapan -tepatnya realitas- yang melatarbelakangi lahirnya tafsir al-Qur’an sebagai kajian yang berusaha menjelaskan makna-makna yang digali dari lafadz-lafadz kitab suci tersebut. Dari sinilah, dengan tegas Ibn Khaldun (w. ) menyatakan, bahwa tafsir al-Qur’an merupakan bagian dari al-‘ulum an-naqliyyah, ilmu yang berpijak pada informasi dari pembuat syariat. Karena bidang tafsir adalah makna lafadz al-Qur’an, sementara al-Qur’an sendiri adalah kitab at-tasyri’ yang berbahasa Arab, maka metode tafsir tidak bisa dipisahkan dari dua sumber tersebut, bahasa dan syara’.
Dari sinilah, Ibn Khaldun membagi tafsir menjadi dua: tafsir naqli, atau yang kini populer dengan istilah tafsir bi al-ma’tsur, dan tafsir yarji’ ila al-lisan, atau -meminjam istilah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani- tafsir bi ar-ra’y. Jenis tafsir yang pertama adalah tafsir yang berpijak pada riwayat, termasuk nasikh-mansukh, asbabun nuzul, dan maksud ayat. Sedangkan jenis yang kedua berpijak pada pengetahuan bahasa Arab, i’rab, dan balaghah sesuai dengan maksud dan gaya bahasa al-Qur’an. Kedua jenis tafsir ini jelas sangat ditentukan oleh informasi yang dikumpulkan oleh mufasir, baik yang bersumber dari sumber syara’ maupun bahasa. Dan, hanya dua model tafsir inilah yang diterima oleh para ulama’ sebagai tafsir yang representatif dan obyektif. Adapun tafsir isyari atau tafsir ‘irfani, tafsir yang dibangun berdasarkan pembacaan simbolis dan mistis -seperti yang digagas oleh kaum Sufi- atau tafsir imaginer -seperti yang digagas Arkoun- adalah tafsir yang dianggap tidak obyektif. Karena tafsir yang terakhir ini tunduk pada akal, atau pengalaman esoteris pembacanya.[35]
Maka, teori hermeneutika yang memang lahir dari ranah budaya Yahudi dan Kristen itu, tentu tidak mampu untuk menjangkau apa yang dimaksud oleh al-Qur’an itu sendiri. Sebagai contoh, klasifikasi kata Arab, seperti majaz (kiasan) dan haqiqah (hakiki), memang dibahas oleh teori hermeneutika, sebagaimana kajian ilmu tafsir, tetapi teori hermeneutika tidak mengenal haqiqah syar’iyah, seperti lafadz al-jihad, as-shalah dan sebagainya. Padahal, realitas tersebut ada di dalam al-Qur’an, ketika lafadz tersebut telah direposisi oleh sumber syara’ dari makna bahasa menjadi makna syara’. Karena teori hermeneutika tidak mengenal haqiqah syar’iyyah, maka kedua lafadz tersebut tetap diartikan sebagai haqiqah lughawiyah, sehingga masing-masing diartikan dengan kerja keras untuk jihad, dan berdoa untuk shalah. Tidak dimasukkannya, atau lebih tepat ditolaknya, keberadaan haqiqah syar’iyah dalam teori hermeneutika adalah, karena teori ini lahir bukan dari teks syara’.
Dengan kerangka epistemologi seperti ini, teori hermeneutika juga tidak menyentuh nasikh-mansukh, atau penggunaan teks di luar konteks historisnya, sebagaimana yang dibakukan dalam kaidah: al-‘ibrah bi ‘umumil lafdhi la bi khushusis sabab. Sebab, keduanya bersumber dari sumber syara’. Dengan teori ini, ayat-ayat yang telah dinasakh dianggap masih berlaku, misalnya, surat Ali ‘Imran (03: 130), yang membolehkan riba, asal tidak berlipat ganda. Padahal, ayat ini sudah dinasakh dengan surat al-Baqarah (02: 278). Kasus yang sama juga berlaku pada ayat-ayat khamr, sehingga baik riba maupun khamr menjadi boleh. Inilah produk tafsir hermeneutika.
Dengan kerangka yang sama, kaidah bahasa: muthlaq-muqayyad, seperti dalam kasus as-sariqu was sariqatu surat al-Ma’idah (05: 38), yang muthlaq kemudian ditaqyid dengan hadits: maja’ah mudhthar (kelaparan yang mengancam nyawa), tidak diakui. Tentu, karena kedudukan Rasul hanya dianggap sebagai tokoh sejarah, bukan sebagai bagian dari as-Syari’. Akibatnya, tindakan ‘Umar ketika tidak memotong tangan pencuri yang mencuri pada tahun paceklik (‘am ar-ramadah) dianggap sebagai tidak menerapkan hukum potong tangan. Padahal, ini bagian dari konteks muthlaq-muqayyad. Dengan Rasul yang diposisikan sebagai tokoh historis, berarti konteks mujmal-mubayyan juga tidak bisa mereka terima.[36]
Dari sini jelas, bahwa kelemahan tafsir hermeneutika justru terletak pada kerangka epistemologisnya, ketika menolak anggapan yang justru terjebak dengan anggapan. Masalah ini terjadi, karena tafsir hermeneutika merupakan bagian dari metode berfikir rasional, bukan metode ilmiah. Metode berfikir rasional, tidak bisa dipisahkan dari anggapan atau informasi. Maka, kelemahan tafsir hermeneutika justru terjadi karena kelemahan metode berfikirnya. Akibatnya, bangunan pemikiran yang lahir dari kelemahan ini penuh dengan kontradiksi dan inkonsistensi. Seperti membangun obyektifitas tafsir, yang justru terjebak dengan subyektifitas kontemplatif dan imaginer. Di sisi lain, teori interpretasi-epistemologis yang lahir dari sumber non-syara’ ini tidak cukup untuk membaca teks al-Qur’an yang bukan saja kitab berbahasa Arab, tetapi juga kitab tasyri’. Maka, pemaksaan al-Qur’an hanya sebagai kitab berbahasa Arab, atau buku sastra, dan bukan kitab tasyri’, bisa dipahami sebagai upaya untuk menundukkan al-Qur’an agar bisa didekati dengan teori yang miskin ini.

D. Analisis penulis
Sebagaimana telah penulis jelaskan di atas bahwa agar fungsi strategis al-Qur’an sebagai sumber pengetahuan dan petunjuk teraplikasikan sesuai dengan tuntutan zaman, maka al-Qur’an harus dipelajari dan diupayakan analisisnya secara komprehensif, syamil dan kamil. Untuk kebutuhan analisis dimaksud diperlukan adanya kerangka dasar yang relevan. Kerangka dasar tersebut terbentuk menjadi metodologi. Jadi, keberadaan sebuah metodologi dalam analisis ayat-ayat Al-Qur’an mutlak diperlukan.
Seiring dengan dinamika intelektual manusia beserta tantangan-tantangan yang dihadapi semakin kompleks, maka perkembangan metodologi analisis al-Qur’an merupakan suatu keniscayaan. Sebuah metodologi boleh jadi akan dirasakan usang oleh si pemakainya, sehingga akan diusahakan mendapatkan yang baru. Proses pencarian ini akan akan bermuara pada perumusan metodologi baru dan akhirnya pembaruan pun tidak mungkin dihindari. Dalam hal ini hermeneutika merupakan metodologi baru yang sedang aktual dibicarakan oleh para ahli. Di dalam realitasnya kehadiran hermeneutika telah memunculkan pro dan konra yang begitu sengit di tengah umat Islam.
Kehadiran hermeneutika dalam kejian tafsir al-Qur’an pada hakikatnya adalah sebuah tawaran baru yang berasal dari para ilmuan metodologi kontemporer dari berbagai displin ilmiah. Sebagai sebuah tawaran baru, tidak serta merta hermeneutika ini harus diadopsi atau ditolak mentah-mentah. Pemahaman yang serius, upaya trial and error, dan evaluasi yang berkesinambungan kiranya perlu dilakukan sebelum kemudian diputuskan apakah hermeneutika akan menggantikan Ulumul Qur’an ataukah ditolak seratus persen, atau sekedar menambah variable metodologi dalam Ulumul Qur’an yang selama ini telah established.
Para pemerhati Baik para ahli yang pro-hermeneutika maupun yang anti-hermeneutika memiliki hak untuk memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini, meskipun tentunya ketika perjuangan tersebut memasuki ruang publik, ada aturan-aturan tertentu yang harus dipatuhi, agar tidak terjadi hegemoni, diskriminasi maupun prilaku-prilaku tidak adil lainnya yang dilakukan oleh salah satu pihak. Karena diskusi hermeneutika pada hakikatnya merupakan wacana ilmiah-filosofis, penerimaan dan penolakan terhadap hermeneutika seharusnya didasarkan kepada argumen-argumen yang ilmiah dan bukannya kepada apologi-apologi serta asumsi-asumsi yang tidak perlu, seperti kecurigaan dan ketakukan tanpa dasar terhadap yang lain, maupun sentimentalisme emosional untuk memihak atau menjatuhkan pandangan tertentu.
Semestinya, umat Islam tidak menunjukkan sikap ekstrim dalam menyikapi setiap gagasan baru, baik bersikap latah untuk menerima atau menolaknya. Yang diperlukan adalah sikap kritis. Sikap inilah yang telah ditunjukkan oleh para ulama Islam terdahulu, sehingga mereka mampu menjawab setiap tantangan zaman, tanpa kehilangan jatidiri pemikiran Islam itu sendiri.
Apalagi, di kalangan umat Islam, mulai muncul gejala umum yang mengkhawatirkan, yakni mudahnya mengambil dan meniru metodologi pemahaman al-Quran dan al-Sunnah yang berasal dari pemikiran dan peradaban asing. Gerakan ‘impor pemikiran’ semakin gencar dilakukan, terutama oleh kalangan yang menggeluti Islamic Studies. Sayangnya, tidak banyak yang memiliki sikap ‘teliti sebelum membeli’ gagasan-gagasan impor yang sebenarnya bertolak-belakang dengan dan berpotensi menggerogoti sendi-sendi akidah seorang Muslim.
Salah satu produk asing tersebut adalah “hermeneutika”, yang belum lama ini dipasarkan dalam sebuah seminar nasional “Hermeneutika al-Qur’an: Pergulatan tentang Penafsiran Kitab Suci” di sebuah perguruan Tinggi. Konon tujuannya antara lain mencari dan merumuskan sebuah ‘hermeneutika al-Qur’an’ yang relevan untuk konteks umat Islam di era globalisasi umumnya dan di Indonesia khususnya. Terlanjur gandrung pada segala yang baru dan Barat (everything new and Western), sejumlah cendekiawan yang nota bene Muslim itu menganggap hermeneutika bebas-nilai alias netral. Bagi mereka, hermeneutika dapat memperkaya dan dijadikan alternatif pengganti metode tafsir tradisional yang dituduh ‘ahistoris’ (mengabaikan konteks sejarah) dan ‘uncritical’ (tidak kritis). Kalangan ini tidak menyadari bahwa hermeneutika sesungguhnya sarat dengan asumsi-asumsi dan implikasi teologis, filosofis, epistemologis dan metodologis yang timbul dalam konteks keberagamaan dan pengalaman sejarah Yahudi dan Kristen.
Dari penjelasan sebagaimana teruraikan di atas, penulis berasumsi bahwa hermeneutika jelas tidak bebas-nilai. Ia mengandung sejumlah asumsi dan konsekuensi. Pertama, hermeneutika menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan mereka terhadap Bible. Teks yang semula dianggap suci itu belakangan diragukan keasliannya. Campur-tangan manusia dalam Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru (Gospels) ternyata didapati jauh lebih banyak ketimbang apa yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa as. Bila diterapkan pada al-Qur’an, hermeneutika otomatis akan menolak status al-Qur‘an sebagai Kalamullah, mempertanyakan otentisitasnya, dan menggugat ke-mutawatir-an mushaf Usmani.
Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai ‘produk sejarah’, sebuah asumsi yang sangat tepat dalam kasus Bible, mengingat sejarahnya yang amat problematik. Hal ini tidak berlaku untuk al-Qur’an, yang kebenarannya melintasi batas-batas ruang dan waktu (trans-historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia (Hudan li an-naas).
Ketiga, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai ‘lingkaran hermeneutis’, dimana makna senantiasa berubah. Sikap semacam ini hanya sesuai untuk Bibel, yang telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu Latin) dan memuat banyak perubahan serta kesalahan redaksi (textual corruption and scribal errors). Tetapi tidak untuk al-Qur’an yang jelas kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman.
Keempat, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan melahirkan mufassir-mufassir palsu dan pemikir-pemikir yang tidak terkendali (liar).
Dampak penggunaan metode hermeneutika terhadap pemikiran Islam sudah sangat mencolok di Indonesia. Misalnya, pemikiran tentang kebenaran satu agama, serta tidak boleh adanya truth claim (klaim kebenaran) dari satu agama tertentu. Paham ini disebarkan secara meluas. Sehingga tidak mengherankan apabila hari ini muncul beberapa gagasan tentang tidak bolehnya kaum Muslim melakukan truth claim. Sebab, hanya Allah yang tahu kebanaran. Pada tataran fiqih, semakin gencar disebarkan pemahaman yang mendekonstruksi hukum-hukum fiqih Islam, yang qath’iy, seperti kewajiban jilbab, haramnya muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, dan sebagainya.
Jika metodologi pemahaman al-Quran sudah dirusak oleh para ulama, cendekiawan, dan tokoh Islam, yang semestinya menjaga umat, maka keadaan ini bukanlah hal yang biasa-biasa saja. Pekerjaaan merusak pemikiran Islam semacam ini dulu hanya diakukan oleh para misionaris Kristen dan Orientalis. Karena itu, tentunya kaum Muslimin sangat perlu mencermati dan melakukan tindakan pencegahan dan penyembuhan terhadap serbuan penyakit yang sudah begitu jauh mencengkeram dan merusak tubuh umat Islam. Wallahu a’lam

III. PENUTUP
A. Kesimpulan dan Saran
Sebagai kesimpulan, hermeneutika itu berbeda dengan tafsir atau pun ta'wil dalam tradisi Islam. Hermeneutika tidak sesuai untuk kajian al-Qur'an, baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis, hermeneutika akan berakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat yang zahir dari al-Qur'an dan menganggapnya sebagai problematik. Diantara kesan hermeneutika teologis ini adalah adanya keragu-raguan terhadap Mushaf Utsmani yang telah disepakati oleh seluruh kaum Muslimin, baik oleh Muslim Sunni ataupun Syi'ah, sebagai "textus receptus."
Keinginan Muhammad Arkoun, misalnya, untuk men-"deconstruct" Mushaf Utsmani, adalah pengaruh dari hermeneutika teologis ini, selain dari pengaruh Jacques Derrida. Dalam artinya yang filosofis, hermeneutika akan mementahkan kembali akidah kaum Muslimin yang berpegang bahwa al-Qur'an adalah Kalam Allah. Pendapat almarhum Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa al-Qur'an adalah "both the Word of God and the word of Muhammad" adalah kesan dari hermeneutika filosofis ini. Semua itu tidak menguntungkan kaum Muslimin, dan hanya menurunkan derajat validitas al-Qur'an seolah- olah sama dengan kitab yang lain. Sebenarnya memang ada kemungkinannya orang Kristen semakin maju dengan hermeneutika, tetapi kaum Muslimin hampir pasti akan mundur ke belakang dengan hermeneutika itu. Sebagaimana b.Arab telah menjadi standar bahasa Hebrew dan bahasa-bahasa Semit yang lain, maka al-Qur'an semestinya juga menjadi benchmark bagi kitab suci yang lain, karena al-Qur'an adalah kitab suci yang terakhir dan yang authentic di antara kitab-kitab yang lain. Dengan perkataan lain, kajian al-Qur'an, terutamanya mengenai penafsirannya, tidak memerlukan hermeneutika.
Kita khawatir akhir-akhir ini kita begitu bergairah mengimpor istilah hermeneutika untuk kajian al-Qur'an tanpa menyelidiki dahulu latar belakang istilah itu sendiri yang mempunyai muatan pandangan hidup berlainan dengan pandangan hidup Islam. Sebenarnya jika akan digunakan bahasa asing juga, maka istilah exegesis atau pun commentary yang selama ini digunakan sudah cukup memadai untuk al-Qur'an. Kenapa kini exegesis atau commentary mesti ditukar dengan hermeneutics?
Saya akhiri makalah ini dengan sebuah saran yang bersumber dari peringatan Rasulullah saw yang berbunyi:
“Kamu akan mengikuti jalan-jalan kaum sebelum kamu, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekali pun kamu akan mengikutinya juga. Kemudian Rasulullah s.a.w. ditanya: "Apakah mereka (yang diikuti) itu kaum Yahudi dan Nasara?" Rasulullah menjawab: "Siapa lagi (kalau bukan mereka)”. (H.R. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad).
Oleh:
MUHAMMAD ASRORI ARDIANSYAH
[1]Manna Khalil al-Qattan, “Mabahits fi Ulum al-Qur’an”, diterjemahkan Mudzakir AS., Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an (Cet. I;Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 1992), 450.
[2]M. Pidarta, Studi tentang Landasan Kependidikan; Jurnal, Filsafat, Teori dan Praktik Kependidikan (Jakarta:, 1999), hlm. 3-4.
[3]Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), 8.
[4]Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), 206.
[5]Sumadi Suryabrata, 1988. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Pers. Cet. 4. hlm. 93
[6]Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2002), 68
[7]Ibid., 450-451.
[8]Abu Salma, “Sejarah Tafsir dan Perkembangannya”, http://abusalma.wordpress.com/2007/01/12/ sejarah-tafsir-dan-perkembangannya/, (Diakses pada 21 September 2007), 1.
[9]Muhammad Husain adz-Dzahabi. At-Tafsir wa al-Mufassirun (Cet. II; Beirut: Darul Fikri, 1976). 13.
[10]Ibid., 15.
[11]Qattan, Loc. Cit.
[12]Ibid.
[13]Mahmud Basuni Faudah, “Tafsir dan ta’wil”, http://grethought.blogspot.com/2007/08/tafsir-dan-takwil.html, (diakses pada 1 Nopember 2007).
[14]Adz-Dzahabi, Loc. Cit., 15-16.
[15]Ibid., 17.
[16]Ash-Shiddieqy lebih lanjut mengutip apa yang dikatakan Mujahid bahwasannya para ulama mengetahui ta’wil al-Qur’an, yakni tafsirnya. Ibnu Jarir pun mengunakan kata ta’wil dalam arti tafsir. Lihat Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki Utama, 2002), 210.
[17]Muta’akhkhirun adalah istilah untuk menyebut golongan ulama kontemporer yang terdiri dari ahli fiqh, kalam, hadits dan tasawwuf.
[18]Adz-Dzahabi, Loc. Cit., 18. Menurut Qattan definisi ta’wil yang diberikan oleh ulama kontemporer cenderung berbeda dengan lafadz ta’wil dalam al-Qur’an menurut versi salaf. Lihat Qattan, 453.
[19]M. Alfatih Suryadilaga, et. al., Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Teras Suryadilaga, 2005), 29.
[20]Nasr Abu Zayd, Mafhum al-Nash, Dirasah fi Ulum al-Qur’an (Beirut: Al-Markaz al-Saqafi al-‘Araby, 1994), 252-267.
[21]Muzairi, “Hermeneutik Dalam Pemikiran Islam,” dalam Sahiron Syamsuddin (ed) et.Al., Hermeneutika al-Qur’an Mazhab Yogya (Cet. I; Yogyakarta: Penerbit Islamika, 2003), 53.
[22]Ibid.
[23]Faiz Manshur, “Tiga Komponen Kritis Hermeneutik”, http://www.sinarharapan.co.id/berita/0302/15/ opi04.html, (diakses pada 1 Nopember 2007), 2.
[24]Ibid., 54.
[25]Ibid., 58.
[26] M. Shiddiq Al-Jawi, “Hermeneutika Al-Qur’an: Keniscayaan Atau Kenistaan?”, http://www. khilafah1924.org, (diakses pada 20 Oktober 2007), 2.
[27]Ibid.
[28]Ahmad Fuad Fanani, “Metode Hermeneutika untuk al-Qur’an”, http://islamlib.com/id/index.php? page=article&id=124, (diakses pada 1 Nopember 2007), 2.
[29]Ibid.
[30]A. Zainul Hamdi, “Hermeneutika Islam,” Jurnal Gerbang, No. 14 Vol. V (2003), 48.
[31]Hafidz Abdurrahman, “Bobroknya Hermeneutika”, http://jailib.wordpress.com/2007/07/23/ bobroknya-hermeneutika, (diakses pada 1 Nopember 2007), 3.
[32]Lebih jauh Ugi menjelaskan bahwa tujuan utama hermeneutika adalah untuk mencari "nilai kebenaran Bible", lihat Ugi Suharto, “Apakah al-Qur’an Memerlukan Hermeneutika?,” http:// hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=696&Itemid=60, (diakses pada 1 Nopember 2007), 1.
[33]Ini pula yang dalam pandangan Wan Mohd Nor Wan Daud menunjukkan perbedaan antara ‘Ulum al-Tafsir dengan hermeneutik atau ilmu penafsiran kitab-kitab Yunani, Kristen atau tradisi agama lain. Lebih jauh WanDaud menjelaskan dasar yang sangat fundamental dari perbedaan-perbedaan itu terletak pada konsepsi tentang sifat dan otoritas teks serta keotentikan dan kepermanenan bahasa dan pengertian kitab suci itu. Lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, “Tafsir Bukanlah Hermeneutika,” http:// www.kalam-upi.info/forum/index.php?, (diakses pada 1 Nopember 2007), 2.
[34]Suharto, Op. Cit.
[35]Ibid., 4-5.
[36]Ibid.

Artikel Terkait:

lintasberita

 
Bottom